Oleh Isidorus Lilijawa
(Politisi GERINDRA – Bakal Calon Walikota Kupang)
KITA baru saja menyelesaikan dua agenda politik, yakni Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden. Hasilnya sudah ada. Narasi seputar itu pun masih terus ada. Salah satu narasi yang terus dikisahkan adalah soal pengkhianatan.
Para caleg misalnya bertutur tentang tim sukses yang mengkhianatinya, yang bermain dua hingga tiga kaki. Ada juga yang berkisah soal pemilih yang berkhianat, padahal sudah dibantu dan diperhatikan. Tetapi akhirnya ‘lari’ ke jagoan lain.
Ada pula tuturan tentang pengkhianatan dari sesama caleg di dapil yang sama. Kita juga mendengar keluhan rakyat perihal caleg yang berkhianat. Sudah dipilih rakyat, malah mengundurkan diri tanpa permisi rakyat. Di lanskap Pilpres pun kisah tentang pengkhianatan santer diperdengarkan. Kita nantikan juga kisah-kisah pengkhianatan itu di ajang Pilkada.
Politik memang akrab dengan pengkhianatan. Boleh jadi karena ruang politik memungkinkan manusia berkarakter pengkhianat berkembang biak. Bisa juga karena hasrat jabatan dan nikmat kekuasaan menjadikan orang rela berganti peran sebagai pengkhianat, sekalipun terhadap sahabat sendiri ataupun orang yang berjasa terhadapnya bahkan partai yang telah membesarkannya.
Dalam kondisi semacam ini, mungkin dipahami pengkhianatan adalah bagian dari seni berpolitik sekalipun itu tidak estetis karena non etik.
Musuh dari Dalam
Sebagai politisi, saya terus diingatkan oleh orang-orang yang berkehendak baik agar selalu berwaspada dan berhati-hati karena dalam dunia politik banyak serigala berbulu domba. Pesan-pesan selalu hadir tatkala ada ikhtiar untuk maju dalam kontestasi politik. Saya sungguh menyadari itu.
Pengkhiantan dalam politik hampir menjadi biasa. Sampai-sampai orang yang dikhianati tidak sadar bahwa ia memang sudah dan sedang dikhianati. Mengapa? Karena musuh sesungguhnya bukan datang dari luar rumah politik, tetapi justru lahir, dibesarkan dan membangun konspirasi itu dari dalam rumah pokok yang sama.
Saya menulis refleksi ini persis di hari pertama dari rangkaian trihari suci yang dirayakan oleh umat Kristiani. Saya tersentuh dan tersentak oleh kisah pengkhianatan Yudas terhadap Sang Guru. Hari Kamis putih memiliki dua pesan penting melalui perisitiwa pembasuhan kaki para murid dan the last supper, perjamuan terakhir Sang Guru bersama murid-murid-Nya. Setelah itu, ada kisah pengkhianatan sang murid yang menjadi awal dimulainya perjalanan penderitaan Sang Guru.
Jika didramatisir, sangat sedih memang membayangkan nasib Sang Guru. Ia sudah tahu bahwa dari jajaran para murid itu ada yang bakal mengkhianati-Nya, tetap dalam kerendahan hati tetap saja ia membasuh kaki mereka sebagai simbol cinta, kasih dan pelayanan.
Bahkan di saat perjamuan terakhir, Sang Guru sudah secara eksplisit menyampaikan bahwa ada yang akan mengkhianati-Nya. Dengan penuh diplomatis Yudas berkata, ‘bukan aku ya Rabi?
Konspirasi Politik
Yesus adalah tokoh politik. Karena itu, pengkhianatan Yudas terhadap-Nya ada dalam konspirasi politik bersama para prajurit, imam-imam kepala dan kaum tua-tua Yahudi. Yudas punya kepentingan 30 keping perak. Ia sangat terobsesi dengan harta ini.
Maka mengkhianati gurunya pun tak jadi soal. Apalagi Yudas ini tipikal murid yang bermain dua kaki. Ia berada bersama Sang Guru tetapi juga berkonspirasi dengan para imam kepala. Segala kebaikan dan cinta Tuhan luntur di hadapan 30 keping perak. Tipikal para pengkhianat politik memang semacam itu.
Dalam politik memang penting untuk menghidupi spiritualitas ular dan merpati. Tulus seperti merpati dan cerdik seperti ular. Dua-duanya mesti ada dalam diri politisi agar tidak mudah dikhianati atau tidak gampang menjadi pengkhianat.
Kalau mau cari pengkhianat, di panggung politik jenis itu banyak; entah di front stage (panggung depan) atau back stage (panggung belakang). Orientasinya beragam, mulai dari rebutan jabatan politik, ambisi yang meluap-luap, iri hati, dengki, tidak terima diri, tergoda harta, tahta dan wanita hingga hal-hal yang irasional sekalipun.
Maka, selalu awas dan berjaga-jaga di dunia politik itu sangat penting.
Nasib Julius Caesar tidak akan begitu tragis jika ia mendengar apa kata istrinya Calpurnia dan tidak menjadi begitu percaya terhadap Brutus sang senator yang ia anggap anaknya sendiri. Dalam mimpinya, Calpurnia mendapatkan penglihatan tentang nasib buruk yang akan terjadi pada suaminya Caesar karena pengkhianatan Brutus. Tetapi rayuan maut Brutus lebih menggoda sang Caesar. Brutus memberi mimpi kehormatan, kemegahan dan kesohoran bagi Caesar.
Gaius Julius Caesar (100-44 SM) sang diktator, politisi, jenderal, sejarahwan itu sudah mengenal Macus Junius Brutus sang senator dengan sangat baik. Brutus dianggap bukan hanya sahabat tetapi anak. Kuasa kegelapan, nafsu kekuasaan ternyata lebih kuat dibandingkan dengan hubungan perkawanan bahkan hubungan bapak – anak. Brutus bersama Gaius Cacssius Loninus serta sejumlah senator mengkhianati Caesar.
Mereka ramai-ramai membunuh Caesar. Sekitar 23 tusukan belati menembus badan Caesar termasuk belati Brutus. Sebelum tewas, Caesar berujar kepada Brutus yang menusuk belatinya, “Tu quoque, Brute, filii mi (engkau juga, Brutus anakku).
Kisah pengkhianatan ini membenarkan apa yang pernah dikatakan oleh Marcus Tullius Cicero (106 – 43 SM) seorang negarawan, orator, ahli hukum dan filsuf Romawi. “Hostis aut amicus non est in aeternum; commode sua sunt in aterenum” (lawan atau kawan itu tidak ada yang abadi; yang abadi hanyalah kepentingan).
Ungkapan lainnya oleh Publillius Syrus (85 – 43 SM), seorang budak dari Suriah yang dibawa ke Roma yang berkata: “cave amicum credas, nisi quem probaveris” (hati-hatilah, jangan mempercayai seorang teman, kecuali engkau telah mengujinya).
Politik itu baik. Tujuannya luhur, pro bonum commune. Namun, aktus politik yang diselimuti ambisi, dengki, iri yang membuat aktus dan tujuan politik menjadi tidak beretika. Seorang ilmuwan politik dari AS, Harold Laswell (1902 – 1978) pernah menulis buku “Dalam Politik: Siapa Mendapat Apa, Kapan dan Bagaimana” (1936). Para pengkhianat politik sering menjadikan ini sebagai rujukan berpolitiknya. Karena tujuan politik adalah kemenangan mendapatkan kekuasaan, maka orang akan melakukan apa saja untuk mewujudkan kemenangan itu.
Politik riil memang menyodorkan pemandangan dari suatu lanskap pertarungan merebut kekuasaan. Dalam pertarungan itulah muncul kecenderungan untuk menghalalkan segala cara dengan menggunakan pendekatan Niccolo Machiavelli. Padahal seharusnya, finis non iustificat medium (tujuan akhir tidak boleh menghalalkan segala cara).
Mari belajar dari kisah pengkhianatan Yudas dan Brutus agar politik tidak dikelola dalam cinta diri dan nafsu pada harta pun kekuasaan. Cicero: amicus certus in re, incerta cernitur (sahabat yang sejati dikenal di saat-saat sulit). Selamat Paskah!.