Tiga Bahasa Daerah di NTT Kritis, 11 Terancam Punah

  • Whatsapp
Ilustrasi : Festival Alor/lintasntt.com

Kupang – Kantor Bahasa Nusa Tenggaa Timur berupaya melakukan konservasi dan revitalisasi tiga bahasa daerah yang saat ini dalam kondisi kritis atau penuturnya hanya bisa dihitung dengan jari.

Tiga bahasa yang kritis itu berasal dari Kabupaten Alor yakni Beilel, Sar, dan Kafoa. Bahkan saat ini penutur Bahasa Beilel tersisa tiga orang.

Read More

“Satu orang, Pak Usman sangat sepuh, jadi kita mau wawancara saja sulit,” kata Kepala Kantor Bahasa NTT Syaiful Bahri Lubis di Kupang, Minggu (21/2).

Selain tiga bahasa itu, ada 11 bahasa daerah dari Alor yang terancam punah karena penuturnya kurang dari 1.000 orang, serta minimnya perhatian dari masyarakat atau pemerintah daerah, serta belum ada penyusunan tata bahasa dan kamus.

Untuk menyelamatkan bahasa tersebut, langkah pertama yang dilakukan tahun ini ialah menyusun tata bahasa mulai dari fonologi, morfologi, sintaksis, ortografi, dan kamus. “Walaupun kamusnya kecil dan masih terbatas nanti ditambah lagi untuk terus merevitalisasi bahasa ini,” ujarnya.

Untuk pekerjaan ini, kantor bahasa akan bekerjasama dengan LIPI dan pemerintah daerah. Setelah proses penyusunan tata bahasa dan kamus rampung, Syaiful berharap anak-anak muda kembali mempelajari bahasa-bahasa tersebut.

“Kalau anak-anak muda kurang percaya diri dengan bahasa mereka, malah mengunakan bahasa kampung lain, kita barus memberikan permakluman kepada mereka agar mereka lebih percaya diri dan bangga menggunakan bahasanya,” katanya.

Dia menambahkan, saat ini total bahasa daerah di NTT tercatat 72, sedangkan bahasa daerah yang terancam punah, seluruhnya berasal dari Alor.

Namun, menurut Dia, pakar bahasa dari LIPI menyebutkan tiga di antara bahasa yang terancam punah, bukan dialek. “Awalnya kita duga dialek dari bahasa lain, setelah dilakukan kajian dengan alat ukur dialektomeri, ternyata bahasa,” katanya.

Sebelumnya, Bupati Alor Amon Djobo menyebutkan banyaknya bahasa daerah di Alor, disebabkan topografi dan geografi di wilayahnya adalah pegunungan dan lembah. Antara satu desa dengan desa lainnya dibatasi gunung sehingga masing-masing warganya menggunakan bahasanya sendiri.  Alor memiliki 42 bahasa daerah, 12 di antaranya logat atau dialeknya hampir sama.

“Menurut cerita dari para orangtua leluhur kami dulunya setiap berkunjung ke tempat baru kemudian membuat kampung dan permukiman serta membuat bahasanya masing-masing. Mereka menyebar dan membuat budaya dan bahasanya dengan beda-beda,” kata Amon.

Kepala Dinas Pendidikan NTT Linus Lusi mengatakan pihaknya akan mendorong bahasa yang terancam punah, dimasukan dalam muatan lokal (mulok) untuk diajarkan di sekolah. “Dalam jangka panjang, kita dorong jadi mulok sesuai kewenangan pemerintah provinsi,” ujarnya.

Kebijakan lain untuk menyelamatkan bahasa yang kritis tersebut tambahnya, keluarga yang bermukim di wilayah perkotaan perlu memakai bahasa daerah dalam komunikasi di rumah, dapat mencegah dalam kepunahan jangka panjang. “Contohnya di Kota Kupang multietnik, setiap keluarga wajib memakai bahasa ibu,” tandasnya. (sumber: MI/palce)

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *