Bajawa – Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Mataloko di Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, segera diselesaikan.
PLN memastikan proyek ini akan kembali beroperasi untuk memperkuat pasokan listrik di Pulau Flores.
Kawasan Mataloko dikenal sebagai salah satu wilayah dengan aktivitas geotermal paling aktif di Nusa Tenggara Timur (NTT), ditandai dengan munculnya mata air panas dan fumarola (uap panas alami).
Potensi ini telah lama menarik perhatian pemerintah untuk dikembangkan sebagai sumber energi hijau.
Proyek eksplorasi panas bumi di Mataloko dimulai sejak tahun 1999 dengan pengeboran tujuh sumur oleh Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral (DJGSDM) hingga tahun 2005, pada kedalaman 100 hingga 760 meter.
Kemudian pada 2003–2007, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi (DJLPE) membangun proyek PLTP Mini Mataloko berkapasitas 2,5 MW, menggunakan dana APBN. Tujuannya untuk menambah pasokan listrik di wilayah Ngada dan sekitarnya yang saat itu masih kekurangan energi.
“PLTP Mataloko sempat menyuplai sekitar 55 persen kebutuhan listrik di Ngada, yakni 2,5 MW dari total beban 4,76 MW di Gardu Induk Bajawa,” jelas Bobby Sitorus, Plh Senior Manager Perizinan, Pertanahan, dan Komunikasi UIP Nusra, Jumat (24/10/2025).
Namun, pada tahun 2015 operasi PLTP terhenti karena penurunan tekanan uap hingga 3,2 bar. Sejak saat itu, 98 persen kebutuhan listrik Ngada disuplai dari sistem kelistrikan Flores, terutama dari PLTMG Rangko (20 MW) di Labuan Bajo dan PLTMG Maumere (40 MW).
Sejak 2018, pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM dan PLN terus mendorong revitalisasi PLTP Mataloko. Program ini meliputi evaluasi ulang kondisi sumur dan peralatan, pemasangan sistem baru agar pembangkit dapat beroperasi stabil, serta potensi pengembangan kapasitas hingga 10 x 2 MW.
Selain meningkatkan pasokan listrik, proyek ini juga diharapkan mendukung sektor pariwisata dan ekonomi lokal.
Dalam kunjungan lapangan di lokasi proyek, Agradi Aryatama, Humas UIP Nusra, menjelaskan bahwa energi panas bumi memiliki keunggulan dibanding sumber energi baru terbarukan (EBT) lainnya.
“Geothermal adalah energi hijau yang paling andal. Berbeda dengan PLTS yang bergantung pada matahari atau PLTA yang tergantung musim hujan, panas bumi bisa beroperasi stabil sepanjang tahun,” ujarnya.
Sementara itu, Ir. Ali Ashat Dipi, pakar geotermal, menyebut potensi panas bumi Flores sebagai aset strategis nasional.
“Energi ini bukan hanya lebih murah dari diesel, tetapi juga terbukti bersih dan berkelanjutan. Untuk pembangkit yang andal dan ramah lingkungan, jawabannya adalah geothermal,” tegasnya.
Secara teknis, energi panas bumi bekerja dengan memanfaatkan panas dari magma di bawah permukaan bumi yang memanaskan air dan batuan hingga membentuk uap bertekanan tinggi. Uap tersebut dialirkan ke pembangkit untuk menggerakkan turbin dan menghasilkan listrik. Air sisa dikembalikan ke dalam tanah melalui sumur injeksi, sehingga sistem tetap ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Fernando, pengawas proyek PLTP Mataloko, menyampaikan bahwa saat ini pembangunan telah memasuki tahap konstruksi infrastruktur.
“Kami sedang membangun empat wellpad (sumur produksi) dengan potensi kapasitas total 10 MW. Infrastruktur seperti jalan, bak penampung, dan tembok penahan longsor sudah hampir selesai. Targetnya, pembangunan tahap ini rampung pada Desember 2025,” jelasnya.
Dengan beroperasinya kembali PLTP Mataloko, PLN berharap Flores menjadi salah satu wilayah percontohan dalam pengembangan energi panas bumi di kawasan timur Indonesia, sekaligus memperkuat komitmen menuju transisi energi bersih nasional. (*/pa)














