Kupang – Pencemaran Laut Timor akibat ledakan anjungan minyak dan ladang Montara sudah berlangsung lebih dari 11 tahun, namun belum ada sikap tegas dari pemerintah untuk menyelesaikannya.
Tragedi terjadi 29 Agustus 2009 yang mengakibatkan ratusan ribu liter minyak mentah tumpah ke laut Timor selama berbulan-bulan.
Lokasi pencemaran akibat ledakan ladang migas tersebut mencapai hingga radius 6.000 kilometer persegi dari titik ledakan.
Ketua Yayasan Peduli Timor Barat, Ferdi Tanoni sejak awal kejadian menyuarakan ke pemerintah Indonesia dan Australia serta perusahaan pengelola ladang migas, PTTEP Australasia dari Thailand untuk menyelesaikan kasus ini. “Selama itu pula kami terus menyuarakannya ke dunia dan kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk segera bersikap tegas menyelesaikan kasus ini,” ujarnya di Kupang, Selasa (29/9/2020).
Sebagaimana yang diungkapkan oleh American Bar Association menurut Ferdi, sangat disayangkan Pemerintah Australia dan perusahaan pencemar Laut Timor PTTEP Australasia seolah tidak peduli dengan apa yang mereka lakukan itu.
Sementara Pemerintah Republik Indonesia seolah tidak berdaya untuk membawa kasus ini ke Pengadilan dan kehilangan akal untuk bagaimana menyelesaikan kasus tumpahan minyak Montara yang sungguh besar ini.
Pada Agustus 2016 atau 7 tahun setelah kasus tumpahan itu,kami mendaftarkan kasus ini di Pengadilan Federeral Australia sebagai Class Action. Sidangnya telah selesai pada Desember 2019. “Sekarang kami masih menunggu hasil putusan hakim di Pengadilan Federal Australia,” ujarnya.
Kasus yang disidangkan ini hanyalah terhadap para petani rumput laut saja dan juga hanya untuk Kabupaten Kupang dan Rote Ndao saja. “Walaupun kami sangat kecewa terhadap gugatan di dua Kabupaten ini saja, tetapi itulah keinginan dari lembaga pendana,” tambahnya.
Bagi Ferdi, tidak masalah pihaknya sedang menunggu putusannya agar kami lanjutkan tuntutan nya bagi para petani rumput laut di 11 Kabupaten dan Kota di NTT serta para nelayan laut Timor dan bagi masyarakat yang sakit dan bahkan banyak yang meninggal dunia.
“Melalui kesempatan ini, kami hanya mau bertanya pada Bapak dan Ibu pejabat yang ada di Pemerintah Australia dan Pemerintah Indonesia Apakah masih ada hati nurani anda bagi kami rakyat Timor Barat dan Nusa Tenggara Timur untuk segera menyelesaiakan kasus ini,’ tanyanya.
Ferdi menambahkan hingga saat ini hasil produksi rumput laut di Nusa Tenggara Timur masih tetap sama yakni sekitar 20-40 % dari total produksi sebelum Australia menghancurkan laut Timor dengan tumpahan minyak Montara. (*/gma)