Brasilia – Ketimbang di Indonesia, puasa di Brasil sebenarnya jauh lebih ringan. Karena saat ini suhu di beberapa kota di Brasil cukup dingin.
Dengan begitu kita jadi jarang harus. Di samping itu, waktu edar matahari juga jauh lebih cepat sehingga waktu puasa menjadi lebih singkat.
Jika di Indonesia, waktu puasa dari mulai imsak sampai azan magrib sekitar 13-14 jam, di beberapa kota di Brasil hanya 11-12 jam. Sehingga sangat membantu umat muslim yang berniat menjalankan ibadah puasa.
Tapi sebagaimana layaknya negara yang mayoritas penduduknya non-muslim, tentu ada tantangan tersendiri bagi kita yang hendak berpuasa. Seperti yang saya alami dalam tiga hari terakhir.
Soal rasa haus dan lapar mungkin bukan satu masalah yang berat. Sebab setelah beberapa pekan di Brasil fisik kami sudah tertempa.
Sering kali kami harus menahan rasa lapar saat liputan, entah itu karena kehabisan makanan atau karena semua restoran tutup. Sebab jika tim nasional Brasil bertanding atau ada pertandingan di Stadion Maracana, Rio de Janeiro, hampir semua restoran, toko-toko, dan pusat perbelanjaan ditutup sehingga sulit mencari makanan.
Itu sebabnya sedikit merasa lapar selama beberapa jam, saya pikir bukan masalah berat. Pula karena kegiatan liputan, waktu seperti begitu cepat berlalu. Yang menjadi masalah adalah justru mata ini. Karena bagaimanapun Brasil menganut negara liberal.
Jadi semua orang bebas berpakaian di sini. Tidak mengherankan jika aurat bertebaran di mana-mana. Belum lagi gadis-gadis belia yang berpakaian bikini dari para suporter, entah itu para suporter Brasil itu atau para fan dari negara-negara lainnya.
Pemandangan itu terpampang jelas di depan mata. Baik itu di stadion ataupun di Fan Fest-Fan Fest (tempat nonton bareng).
Untungnya tempat tinggal kami di Brasilia, Ibu Kota Brasil tidak terlalu jauh dari KBRI, sehingga tidak jarang staf kedutaan datang berkunjung.
Apalagi mereka kerap membawakan makanan untuk berbuka puasa atau sahur. Bahkan kemarin, kami melakukan buka puasa bersama di KBRI. Sehingga kerinduan akan suasana bulan Ramadan di Indonesia pun sedikit terobati. “Inilah tantangan puasa di Brasil, Bang. Kalau lapar dan haus mungkin masih bisa kita tahan, tapi mata ini yang susah,” kata Arifin, salah seorang staf KBRI.
“Karena itu kalau ngabuburit di Fan Fest, stadion, apalagi di pantai-pantai, jangan pernah berkedip apalagi melengos. Sebab pandangan kedua jatuhnya sudah dosa,” seloroh dia. “Tapi kalau kita bisa melewati puasa di sini (Brasil) pahalanya juga lebih besar, karena godaannya kan lebih berat,” timpal Ali, staf KBRI lainnya.
Meski hanya bergurau, pernyataan keduanya boleh jadi benar. Saya jadi teringat kata-kata dari almarhum Nurcholis Madjid.
Beliau pernah mengatakan bahwa surga lebih dekat dari Amerika ketimbang Arab. Sebab beribadah di tempat yang mayoritasnya non-muslim, Insya Allah pahalanya jauh lebih besar ketimbang di negara-negara Arab yang tantangan dan godaannya jauh lebih ringan. (mi)