Kupang – Dinas Kesehatan Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur bersama
United Nations Children’s Fund (Unicef) memulai tahapan pelaksanaan program Gizi Remaja yang di sebut “AksiBergizi” dengan sasaran utama remaja putri sebagai upaya untuk menurunkan dan mencegah stunting di daerah itu, Selasa (25/8).
Kegiatan Aksi Bergizi berlangsung dalam tiga tahap yakni Training of Trainer (ToT) fasilitator Aksi Bergizi tingkat kabupaten yang terdiri dari lintas sektor dalam wadah TP-UKS Kabupaten yakni Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan dan Bappeda yang berlangsung dari tanggal 24 sampai 28 Agustus. Selanjutnya , akan dilanjutkan dengan pelatihan fasilitator tingkat kecamatan untuk staf usaha kesehatan sekolah(UKS), puskesmas, dan guru aksi bergizi di sekolah model pada September 2020.
Kegiatan dilanjutkan dengan sesi Aksi Bergizi di sekolah model yang dijadwalkan Oktober 2020 jika kegiatan belajar mengajar di sekolah sudah kembali normal. Para siswa di sekolah tersebut akan bekali alat bantu
permainan aksi bergizi.
Untuk kegiatan ToT fasilitator diikuti perwakilan dari empat puskesmas yakni Oesao, Batakte, Naiobat, dan Tarus. “Stunting di Kabupaten Kupang lumayan besar sehingga aksi inovasi ini diharapkan penanganan stunting
menjadi lebih terarah dan terfokus,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kupang, dokter Robert Amaheka.
Dengan menggelar Aksi Bergizi, dokter Robert Amaheka berharap pada 2024, balita stunting turun antara 10-12 persen. Sesuai rilis terakhir, Februari 2020, dari 26.204 balita yang diukur, 7.891 orang di antaranya
stunting tersebar di 26 kecamatan.
Nutrition Officer Unicef Perwakilan NTT Blandina Bait mengatakan pelaksanaan aksi bergizi untuk mendorong kebiasaan sarapan pagi bersama disekolah sebelum minum tablet tambah darah (TTD), meningkatkan cakupan
dan kualitas minum TTD bagi remaja putri di sekolah, meningkatkan pengetahuan dan kesadaran remaja putra dan putri melalui sesi literasi aksi bergizi, serta memperkuat sistim monitoring, pencatatan dan
pelaporan TTD.
Berdasarkan pengalaman pelaksanaan Aksi Bergizi yang sama di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat dan Klaten, Jawa Tengah, menurut Blandina, Kabupaten Kupang turut mengalokasikan anggaran di tahun 2020 untuk perluasan kegiatan penurunan dan pencegahan stunting tersebut dengan dukungan teknis dari UNICEF.
“Kegiatan ini searah dengan satu dari 25 komposit indikator penyebab stunting di NTT, yakni meningkatan cakupan dan kualitas remaja putri yang mendapatkan TTD, serta promosi perubahan perilaku demi meningkatkan pengetahuan dan kesedaran remaja dalam aspekgizi spesifik dan gizi sensitif sehingga mereka diharapkan dapat tumbuh menjadi remaja dan calon orang tua yang berpengetahuan dan sehat,”
ujarnya.
Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, sekitar lebih dari seperempat (26,9 persen) remaja berusia 16-18 tahun kekurangan gizi kronis (stunting), 8,1 persen kekurangan gizi akut (wasting), dan 13,5
persen kelebihan berat badan atau obesitas.
Sementara prevalensi stunting di kalangan remaja telah sedikit berkurang dibandingkan data Riskesdas 2013, kelebihan berat badan meningkat dalam tingkat yang mengkhawatirkan, sedangkan tingkat kelebihan berat badan
dan obesitas di kalangan remaja muda berusia 13-15 tahun mencapai 16 persen secara nasional dan di NTT 19 persen.
Sesuai hasil peneltiian kualitatif tentang gizi remaja di Lombok Barat dan Klaten yang dilakukan Unicef Indonesia bersama pemerintah pada tahun2016 terungkap aktivitas fisik remaja di sekolah jarang lebih lebih dari
90 menit dalam seminggu, dan sedikit waktu yang dihabiskan untuk berolahraga.
Hanya setengah dari remaja yang aktif di luar sekolah, dan banyak dari aktivitas mereka yang tidak aktif secara fisik/sedentary. Selain itu, keragaman diet remaja Indonesia juga ditemukan sangat minim. Meskipun
semua remaja makan setidaknya sekali dalam sehari, namun hanya seperempatnya mengonsumsi makanan yang banyak mengandung zat besi, folat dan zat gizi mikro lainnya seperti makanan hewani dan sayuran.
Adapun survei baseline kuantitatif pada 2017 terungkap remaja belum mendapatkan porsi perhatian yang cukup maksimal terakit program gizi.Sebaliknya, program dan kebijakan yang menargetkan gizi remaja berada
pada tahap yang berbeda dan sebagian besar terbatas dalam cakupan geografis tertentu.
Intervensi terkait gizi di Indonesia sebagian besar berfokus pada status gizi selama 1.000 hari pertama kehidupan dan indikator kekurangan gizi, meskipun ada peningkatan jumlah populasi dengan berat badan lebih dan
ada peningkatan lingkungan ‘obesogenik’, yaitu lingkungan yang menyebabkan seseorang menjadi kelebihan berat badan atau obesitas.
“Sesungguhnya 1.000 hari pertama kehidupan sudah terlambat bagi 500.000 remaja putri yang hamil di Indonesia setiap tahunnya dan tidak cukupuntuk digunakan mengatasi masalah kekurangan dan kelebihan gizi secara
memadai,” katanya. (mi)