Sosialisasi Bayar Tiket dengan E-Money Minim, Penumpang Feri di Kupang Antre Dua Kali

  • Whatsapp
Talkshow di RRI Pro 1 Kupang, Selasa (19/4)./Foto: lintasntt.com

Kupang – Penumpang Feri di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) ramai-ramai memrotes kebijakan PT Angkutan Sungai Danau dan Penyebangan (ASDP) Indonesia Feri setempat terkait pemberlakukan pembelian tiket nontunai yang menimbulkan persoalan baru.

Protes dilayangkan kepada Ombudsman NTT, juga melalui media sosial facebook sejak beberapa hari terakhir. Mereka mempertanyakan kewajiban penumpang membeli kartu untuk uang elektronik, salah satu bank pemerintah seharga Rp34.000 per kartu.

Read More

Harga kartu sebesar itu di luar harga tiket kapal. Kebijakan ini memicu persoalan baru yakni penumpang terpaksa mengantre dua kali di loket. Pertama mengantre untuk isi ulang (top up) kartu uang elektronik e-money di koperasi pensiunan ASPD. Kedua, pergi mengantre di loket pelabuhan untuk mencetak tiket.

“Mohon penjelasan dari ASDP dan pihak bank untuk pembelian tiket penyeberangan feri. Kita diwajibkan membeli kartu uang elektronik seharga Rp34.000 di luar biaya tiket,” protes penumpang bernama Pina Ope Nope di salah satu grup facebook.

Dalam unggahannya, penumpang rute Kupang-Larantuka itu berharap ASDP menjalankan pelayanan publik secara jujur dan bersih. Persoalan ini kemudian diangkat menjadi topik bahasan antara Manager Usaha PT ASDP Indonesia Fery Cabang Kupang Hermin Welkis bersama Ketua Ombudsman NTT Darius Beda Daton dalam Talkshow Bertajuk ‘Penerapan Aturan Pembelian Tiket ASDP Secara Nontunai’ di RRI Pro 1 Kupang, Selasa (19/4/2022).

Talkshow digagas oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) sebagai salah satu bentuk kampanye untuk mendorong perbaikan atas layanan publik di Nusa Tenggara Timur. PPMN juga mendorong masyarakat agar turut berpartisipasi dalam gerakan keterbukaan informasi publik di daerahnya masing-masing, sehingga tercipta pelayanan publik yang benar-benar sesuai dengan harapan masyarakat.

Dalam talkshow yang berlangsung satu jam, Darius mengaku berkali-kali menerima pengaduan dari penumpang feri lewat pesan WhatsApp. Masyarakat menanyakan alasan dibalik kewajiban membeli kartu uang elektronik dan persoalan lainnya yang terjadi di pelabuhan. Dia juga menanyakan keberadaan koperasi pensiunan PT ASDP di area itu.

“Tugas saya mengkoordinasikan dengan ASDP untuk menjelaskan kenapa gunakan kartu uang elektronik, dan apa manfaatnya. Ada banyak pertanyaan warga terutama dari sisi kemudahan layanan,” katanya.

Banyaknya pengaduan yang masuk ke nomor ponsel pribadi ketua Ombudsman NTT juga melalui hotline Ombudsman lantaran Darius menuliskan nomornya pada papan yang ditempatkan di pelabuhan. Karena menempatkan nomor pengaduan Ombudsman NTT di papan di pelabuhan, setiap muncul persoalan yang terkait dengan layanan di pelabuhan, penumpang maupun pengunjung pasti mengadu ke ombudsman.

“Pertanyaan warga ialah kalau menjadi ribet, kenapa gunakan model ini. Kita mesti diskusikan keterlibatan koperasi pensiunan ASDP, dan apa kewajiban koperasi itu kepada penumpang kapal,” tanyanya.

Manager Usaha PT ASDP Indonesia Fery Cabang Kupang Hermin Welkis menyebutkan kebijakan pelaksanaan tiket elektronik khusus di pelabuhan penyeberangan sudah ada sejak 1 Juni 2021. Kebijakan itu tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 19/2020 dan Keputusan Direksi PT ASDP tentang penyelengaraan tiket angkutan penyeberangan secara elektronik.

Di NTT, ada tiga pelabuhan ASDP yang menerapkan aturan ini yakni Pelabuhan Penyebrangan Bolok Kupang, Pelabuhan Penyeberangan Pantai Baru di Rote Ndao dan Pelabuhan Penyeberangan Waibalun di Larantuka, Flores Timur. Menurutnya, membeli tiket dengan uang elektronik mempercepat pelayanan dan memudahkan calon penumpang, mencegah terjadinya pungutan liar (pungli). Karena ASDP bekerja sama dengan pihak bank pemerintah yang menyediakan kartu uang elektronik.

Hermin menegaskan biaya kartu murni berasal dari bank, bukan ASDP dan hanya dibayar sebanyak satu kali. “Kalau kita top up Rp20.000 dan harga tiket Rp15.000, sisa saldo sebesar Rp5.000,” jelasnya.

Sebenarnya, sosialisasi mengenai penerapan uang elektronik sudah dilakukan selama sebulan pada Mei 2021. Namun sosialisasi yang cukup singkat, banyak warga belum paham dan berujung pada antrean dan protes. Misalnya, warga ramai-ramai datang ke pelabuhan melakukan top up kemudian membeli tiket.

Kondisi seperti ini yang membuat antrean dan kerumuman. Untuk melakukan top up, tambah Hermin Welkis, ASDP menempatkan koperasi pensiunan di sana untuk membantu mempercepat calon penumpang yang melakukan top up kartu uang elektronik.

“Kami harus jujur bahwa sosialisasi ini agak kurang. Kami kira dengan berjalannya waktu, masyarakat atau publik lebih mengerti,” lanjut Hermin. Minimnya sosialisasi, pelaksanaan kartu uang elektronik di pelabuhan ini baru mencapai 80%. Umumnya calon penumpang dari daerah perdesaan masih gagap menggunakan uang elektronik. Adapun antrean di loket, tambahnya, tidak ada proses pencetakan tiket, tetapi penumpang hanya menggesek kartunya di mesin yang disiapkan di loket.

“Kalau kalangan milenial sudah maksimal,” ujarnya. Terkait persoalan itu, Hermin janji melakukan pembenahan termasuk meninjau keberadaan koperasi pensiunan ASDP di pelabuhan. “Mungkin kami perbanyak kios-kios untuk top up di pelabuhan agar tidak terjadi antrean,” pungkasnya. (mi/KJW/Tari Ismail/Jurnalis Warga)

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.