Siapa Viktor Laiskodat? (2)

  • Whatsapp
Viktor Laiskodat

Oleh: Matheos Viktor Messakh

Blok 4 A

Di penjara, Viktor menawarkan diri kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan untuk menjadi ketua blok narapidana hukuman mati, Blok 4A.

Ketua sel sebelumnya, pak De, terdakwa pembunuh Dietje, mengundurkan diri karena tak mampu mengatasi para terpidana mati.

“Disiplin dan aturan sama sekali absen dari blok ini. Hari pertama, mereka lempar wajah saya dengan tinja manusia. Saya diam saja. Ada orang Jerman yang tiap hari pukul orang, ada jawara dari Banten yang membantai satu keluarga, ada guru yang memutilasi istrinya,” tutur Viktor. Upaya Viktor menerapkan disiplin ditertawakan. Mereka balik menantangnya.

“Mereka lihat masa hukuman saya: “tiga tahun kau mau perintah-perintah kami? Ini mati semua di sini, tahu!,” kata Viktor menirukan reaksi para penghuni blok 4A.

Sekali lagi, anak Semau ini membuktikan bahwa hal-hal besar lebih dilakukan melalui keberanian daripada melalui hikmat. “Hari ketika jadi hari penentuan. Mereka atau saya yang mati. Saya mengunci gerbang blok dan malam itu menjadi malam penentuan,” tutur Viktor

Malam itu, dua orang narapidana yang paling ditakuti, penghuni sel 39 dan 40, dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan terluka. Tiga puluh delapan yang lain tak punya pilihan selain tunduk pada pemimpin baru mereka. Sang Viktor mulai mendapatkan respek sebagai pemimpin di kalangan terpidana mati.

Keesokkan harinya para penghuni Blok 4A menjadi tertib teratur. “Hukumya adalah tiap hari kalian boleh bunuh saya dan saya boleh bunuh kalian. Hukum kita cuma itu,” katanya kepada para penghuni blok.

Blok yang paling ditakuti itu kemudian bukan hanya menjadi blok paling bersih, teratur dan disiplin, tetapi juga paling mandiri. Berbagai jenis penataan dilakukan.

Piket pembersihan blok diberlakukan, para narapidana bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan makan mereka, kualitas makanan ditingkatkan dengan hadirnya seorang chef yang juga adalah seorang narapidana.

Tetapi lebih daripada itu, hubungan emosional dengan sesama pesakitan menjadi kuat. “Selama di dalam ada dua orang yang menemui waktu eksekusinya. Beta son bisa tidur [menjelang eksekusi]. Dong nangis peluk beta.
Sebagai pemimpin, lepas dari segala kekurangan beta, kotong su jadi satu. Tapi beta sonde bisa lai untuk bela sang dong. Beta hanya bisa bisik ke petugas: kalau bisa, siapapun yang nembak harus tepat ya pak. Dorang diambil jam dua pagi. Beta antar sampai depan. Padahal sonde boleh sebenarnya tapi beta minta beta antar,” kata Viktor mengenang dua temannya itu.

Ikatan emosional itu membuat perpisahan di akhir masa tahanan begitu berat. “Waktu beta keluar dong peluk beta ko semua menangis. Sejujurnya beta menemukan beta pung hidup di penjara. Arah balik itu di penjara,” akunya.

“Satu bulan sebelum keluar, saya tahu Tuhan kasih saya sesuatu,” akunya. Selepas jeruji besi di tahun 1997 justru memberi kekuatan lebih pada Viktor. Ia melanjutkan kuliah ilmu hukum yang ditinggalkannya.

“Saya harus menjadi ‘orang’ agar saya bisa berbuat bagi orang lain,” tekadnya sejak itu. “Saya bilang ke anak-anak yang biasa bersama saya: ‘kalian harus sekolah, karena saya akan menjadi orang lebih hebat dari sekarang. Kita tetap jadi debt collector tapi harus sekolah’,” cerita Viktor. Penjara justru membuat rasa percaya dirinya semakin kuat.

“Kalau saya bisa atur orang yang sudah tidak ada harapan saja akhirnya hidupnya berbalik dan jadi manusiawi, masak kita atur orang yang punya harapan gak bisa? Itu keyakinan saya. Sejak itu saya yakin saya bisa mengurus manusia,” katanya.

“Oleh karena itu, kalau orang tanya saya: you pernah pimpin apa? Saya akan jawab: Saya gak tahu kamu pimpin di mana dan sebesar apa, tapi lu belum pernah pimpin orang mati.

Saya mempimpin sebuah blok mati! Dan tempat itu lama-lama jadi tempat terbaik sehingga semua orang berebutan mau ke situ.” (bersambung…)

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.