Serba Terbatas di Netemnanu Utara

  • Whatsapp
Kondisi Ruas Jalan Menuju Amfoang/Foto: Dok Pribadi

Amfoang–Matahari mulai bergeser ke sisi barat saat Kepala Desa Netemnanu Utara Winfried Kameo keluar dari kantor desa yang bersebelahan dengan rumahnya.

Semburat sinar kemerahannya menyoroti salah satu sisi gerbang kayu di depan kantor yang dicat dengan warna merah dan putih menyerupai warna bendera, memunculkan siluet indah di sore itu.

Dalam perjalanan pulang ke rumah itulah, Winfried menerima pesan singkat lewat ponsel. Dia dipanggil menghadiri pertemuan bersama bupati yang akan membahas pengelolaan dana desa.

Pertemuan dijadwalkan keesokan harinya di kantor bupati di Oelamasi, Kecamatan Kupang Timur yang berjarak 143 kilometer dari Netemnanu Utara, wilayah di Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Ketika itu, jarum jam sudah menunjukkan pukul 17.00 Wita.

“Saya tidak mungkin berangkat,” katanya singkat. Dia tidak memenuhi panggilan atasannya lantaran tidak ada angkutan. Empat bis yang saban hari mengangkut penumpang dari Netemnanu Utara dan desa lainnya di sepanjang perbatasan Indonesia-Timor Leste itu, sudah berangkat ke kota sejak pukul 07.00 pagi.

Besok pagi baru ada lagi angkutan, sedangkan perjalanan Netemnanu Utara ke ibu kota lumayan lama, sekitar 16 jam. Kalau berangkat pagi, bus baru tiba di kota jelang tengah malam atau pukul 23.00 Wita.

Sebagai pembanding, jarak Kupang-Atambua, Kabupaten Belu sejauh 300 kilometer dengan kondisi jalan mulus, ditempuh dengan mobil selama enam jam. “Kalau tidak datang, saya pasti disalahkan,” ujarnya kepada sejumlah wartawan di kediamannya di Netemnanu Utara.

Sebenarnya pesan singkat kepada Winfried dikirim sejak dini hari, namun keterbatasan akses jaringan seluler mengakibatkan pesan baru diterima sore harinya. Bukan kali ini saja, Winfried mengalami masalah ini.

Sebelumnya, malah pesan sama sekali tidak terkirim. Kala itu dia akan melaporkan kerusakan infrastruktur jalan dan lahan pertanian gagal tanam. Kondisi serupa juga terjadi pada akses telepon. Untuk masalah ini, Winfried pernah protes ke operator telepon seluler, namun jawaban yang ia peroleh membuatnya mengurut dada. Akses telepon dan pesan singkat di wilayah itu ternyata menggunakan sistem kuota.

Jika 50 warga setempat menelepon atau mengirim pesan singkat secara bersamaan, penelepon yang ke-51 harus mengalah karena tidak akan mengakses jaringan.

Kalau sudah begitu, jangan tanyakan lagi soal akses internet. Memang 7.740 warga yang bermukim di wilayah yang berjarak dua kilometer dari garis perbatasan Indonesia-Timor Leste itu, bisa mengakses internet lewat jaringan operator seluler negara tetangga tersebut.

Kepala Desa Netemnanu Utara/Foto: Lintasntt.com
Kepala Desa Netemnanu Utara/Foto: Lintasntt.com

Kartu perdananya dijual bebas di pasar perbatasan Oepoli di Netemnanu Utara. Tentu saja mereka harus merogoh kocek lebih dalam. Harga kartu perdana Rp30.000, tetapi jika ingin mengakses internet, ditawarkan voucher seharga Rp20.000.

“Saya sering membeli empat voucher seharga Rp80.000 untuk akses internet selama satu minggu,” kata Winfried.

Dengan kondisi seperti itu, dia berharap operator seluler Tanah Air menambah kapasitas jaringan di sana. Agar akses komunikasi warga menjadi mudah, murah dan lancar. Satu masalah lain yakni, keterbatasan infrastruktur jalan dan jembatan. Dua hal itu merupakan masalah besar yang harus dibereskan pemerintah. Bayangkan, hampir 90% ruas jalan yang membentang antara Oelamasi-Amfong Timur merupakan jalan makadam (batu) dan tanah.

Saat kemarau seperti saat ini, debu di jalan tertiup angin masuk ke dalam rumah penduduk. Bukan hanya kotor, juga bisa menimbulkan masalah kesehatan. Sebaliknya, saat musim hujan jalan bak kubangan kerbau, Air sungai meluap menimbulkan banjir. Jika banjir, warga harus memilih antara kembali ke rumah atau bermalam di jalan.

Tak jarang warga menghabiskan waktu antara 2-3 hari di jalan. Sebab air sungai yang meluber bukan satu sungai saja. Ada sekitar 168 sungai besar dan kecil membentang di sepanjang jalan menuju wilayah perbatasan dan belum memiliki jembatan penyeberangan. Masalah tambah rumit jika banjir berlangsung berhari-hari.

Desa-desa di sana akan terisolasi yang membuat bahan kebutuhan pokok melonjak. Beberapa kebutuhan pokok juga sulit diperoleh karena tidak ada pasokan dari kota, seperti beras, telur, minyak goreng, dan bahan bakar minyak (BBM).

Saat yang sama, warga tidak dapat mengharapkan angkutan laut karena cuaca buruk. “Kadang kami harus berbesar hati dan memaklumi sebagai warga yang hidup di daerah perbatasan, semua serba terbatas,” kata Winfried sambil tersenyum.

Terkait masalah di sektor pertanian, Winfried tersenyum kecut. Sebab masalahnya sama, Dulu ada dua embung kecil tetapi jebol beberapa tahun lalu, sampai saat ini belum diperbaiki. Jika saja embung berfungsi normal, mampu menampung air pada musim hujan.

Airnya bisa dipakai mengairi tanaman pertanian di musim panas. Kini 1.700 hektare persawahan di sana tidak bisa digarap optimal. Sebab hanya mengandalkan hujan sebagai sumber airnya. “Sebenarnya kebutuhan kami banyak, alat-alat pertanian, benih, dan bendungan,” ujarnya.

Kendati penuh keterbatasan, kecintaan warga di sana terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetao kuat. “Kami Indonesia, dan tetap cinta NKRI,” tandasnya. Kini, komitmen meretas isolasi wilayah mulai berdatangan, pertama dari Presiden Joko Widodo. Pada 2019, pemerintah memulai pembangunan jalan sabuk merah sektor barat sepanjang 141 kilometer.

Ruas jalan ini menghubungkan Wini di pantai utara Kabupaten Timor Tengah Utara dengan Oepoli di Amfoang Utara. Di tahun yang sama, pemerintah juga membangun tiga Pos Lintas Batas Negara (PLBN) yakni Oepoli, Napan, dan Maritaing.

Komitmen juga datang dari Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Laiskodat. Bahkan anggaran pembangunan jalan ke wilayah itu didiprediksi mencapai Rp250 miliar. “Seluruh jalan menuju arah menuju utara dibangun dua jalur dengan lebar delapan meter,” janji Viktor.

Menurutnya bangun jalan tidak hanya meretas isolasi wilayah, tetapi tetapi juga membuka akses bagi distribusi hasil bumi ke pasar. Komitmen memang menjadi kunci jika ingin mengejar ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan negara, entah dari badan usaha milik negara (BUMN) atau swasta.

Kondisi Jembatan Termanu yang menghubungkan Kupang dengan kecamatan di wilayah Amfoang. Dok. Lintasntt.com
Kondisi Jembatan Termanu yang menghubungkan Kupang dengan kecamatan di wilayah Amfoang. Dok. Lintasntt.com

Termasuk yang sedang dilakukan PT PLN (Persero) Unit Induk Wilayah Nusa Tenggara Timur. Belum lama ini, PLN mengajak sejumlah wartawan melihat perjuangan petugas melistriki desa-desa terpencil tersebut.

Mereka menyeberangi ratusan sungai, menyusuri punggung bukit, pesisir pantai dan kaki gunung di enam kecamatan sebelum tiba di garis perbatasan negara di Oepoli yang masuk wilayah Netemnanu Utara. Selama perjalanan mereka mampir di tiga unit pembangkit listrik tenaga disel (PLTD) yang selama ini menjadi sumber terang bagi warga perbatasan.

Tiga pembangkit itu ternyata kelebihan daya listrik, namun belum dimanfaatkan maksimal oleh masyarakat, yakni PLTD Naikliu di Amfoang Utara kapasitas 165 kilowatt (Kw), namun beban puncak hanya 94 Kw. PLTD Oepoli di Amfoang Timur berkapasitas 370 Kw dengan beban puncak 66 Kw, dan PLTD Lelogama di Amfoang Selatan berkapasitas 165 kw dengan beban puncak 118 Kw.

Supervisor Teknik Jaringan Sub Rayon Naikliu, Amfoang Utara Hengky Funai menyebut minimnya pemanfaatkan listrik PLN di wilayah perbatasan disebabkan dua hal yakni jaringan listrik belum tersedia sampai ke seluruh desa, dan banyak warga tidak mampu membayar ongkos pasang baru rendah. Persoalan seperti itu yang mengakibatkan 11 dari 27 desa di sana belum terlayani listrik.

Selain itu, pekerjaan membawa terang ke desa terpencil dengan medan yang berat, bukan gampang. Kondisi yang membuat iba saat Hengki terjatuh dari sepeda motor dan mengalami patah kaki.

Musibah terjadi saat Dia dalam perjalanan pulang setelah membenahi jaringan yang terputus. Beruntung Dia ditolong warga. “Saya selalu meneteskan air mata kalau cerita kembali saat saya jatuh sepeda motor,” ujarnya.

Banyak kendala dijumpai di lapangan membuat rasio desa berlistrik di Nusa Tenggara Timur masih rendah atau 72,59%. Masih 871 desa belum berlistrik terdiri dari 271 desa sedang dalam pembangunan jaringan, dan 600 desa lainnya dalam tahap pelelangan, belum termasuk 71 desa yang dimekarkan tahun ini.

Matahari semakin condong, seperti sang kepala desa, satu per satu warga Netemnanu Utara pun pulang untuk berkumpul bersama keluarga di rumah, termasuk Idrus Baleri, warga yang rumahnya hanya selemparan batu dari rumah kepala desa. Mereka hanya bisa menanti di tengah keterbatasan pembangunan di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal itu. (Tulisan: palce amalo)

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.