
MONTMARTRE, salah satu kawasan di Paris yang menyuguhkan nuansa pedesaan dan mampu membangkitkan gairah romantisme.
BANGUNAN kubah yang memuncaki bukit itu terlihat megah dan berkilauan. Pantulan sinar matahari pagi berpendar hingga ke jendela taksi yang sedang saya tumpangi menuju hotel di Porte de Clichy, Paris, Prancis. Perjalanan saya bersama empat rekan wartawan kali ini bermaksud meliput pembelian 25 pesawat Airbus A320 oleh Mandala Airlines. Dari Jacques, sang supir taksi, saya baru mengetahui bangunan itu ialah Basilique Sacre Coeur (Basilika Hati Kudus), landmark kebanggaan Kota Paris setelah Menara Eiffel dan tugu kemenangan Arc de Triomphe.
Basilika terletak di kawasan Montmartre, tidak jauh dari tempat saya menginap. Hanya selisih empat stasiun metro, kereta bawah tanah Paris. Meski demikian, baru pada malam terakhir saya punya kesempatan menjelajahi Montmartre dan Basilika Hati Kudus seorang diri. Perjalanan saya dimulai dari bundaran di depan Moulin Rouge, atau lazim disebut Place Blanche. Di tempat itu, mangkal kereta mini putih, persis seperti di Taman Mini Indonesia Indah dan Kebun Binatang Ragunan. Dengan membayar tiket seharga 5,5 euro atau setara dengan Rp66 ribu, penumpang akan diantar ke Basilika Hati Kudus melewati jalan serta lorong Montmartre.
Saya berencana mengikuti rute tersebut, tapi urung setelah bertemu seorang penduduk asli Montmartre bernama Benoit Cigny. “Ngapain kamu naik kereta itu? Basilika Hati Kudus gampang dicapai. Kamu tinggal berjalan menanjak naik, naik, dan naik,” ujar pria yang berprofesi sebagai programmer komputer itu.
Benoit menambahkan, Montmartre sesungguhnya mudah dijelajahi. Tarik garis antara stasiun metro Blanche hingga Anvers yang berada di Boulevard de Clichy, kemudian hubungkan keduanya dengan Basilika Hati Kudus di puncak Montmartre. Alhasil, terbentuklah segi tiga imajiner. “Coba saja berkeliling di daerah itu, niscaya kamu tidak akan tersesat,” cetusnya.
Percaya dengan jaminan tersebut, saya pun melangkahkan kaki ke Rue Lepic, jalan tanjakan selebar tiga mobil sedan di samping Moulin Rouge. Kendati sudut kemiringan mencapai 45 derajat, saya tetap mantap menjejak mengingat matahari masih bersinar, meski jam sudah menunjukkan pukul 21.00 waktu setempat. Apalagi, suhu malam hari itu hanya 20 derajat celsius. Cukup nyaman, terasa seperti berjalan di kawasan Lembang, Bandung.
Buat saya, suasana pedesaan di kawasan ini membangkitkan gairah. Masih dapat dijumpai kafe dan hotel bergaya rumahan. Belum lagi beragam toko, seperti gerai busana, bunga, dan kelontong. Sikap penjual sangat ramah seakan mengenal sebagian besar pelanggan dari masa kanak-kanak.
Belakangan saya tahu, suasana pedesaan yang ditawarkan memang merupakan ciri khas Montmartre. Selama abad ke-19, kawasan ini menggantungkan roda perekonomian pada tambang gipsum dan ladang anggur. Warga Montmartre mengandalkan 15 hingga 30 kincir angin yang digunakan untuk menggiling hasil panen maupun menghancurkan bongkahan gipsum. Kini, semua kincir angin itu punah, hanya menyisakan kenangan di sejumlah tempat, seperti Moulin Rouge, kafe Les Deux Moulins (dua kincir), dan Le Moulin de la Galette, sebuah tempat dansa yang pernah dilukis Henri de Toulouse-Lautrec, Vincent van Gogh, Pablo Picasso, dan Auguste Renoir.
Para pelukis kesohor tersebut memang pernah mondok di Montmartre. Mereka tertarik nuansa pedesaan yang ditawarkan wilayah yang mendapat namanya dari kisah kemartiran Santo Denis, penyebar kekristenan di Paris yang tewas dipenggal. Apalagi, sebagai desa di luar Paris, Montmartre tidak terkena pajak kota. Tidak pelak, mazhab impresionisme, fauvinisme, dan kubisme mengambil rupa di sini.
Rekam jejak aliran lukis itu saya temui di Place du Tertre, setelah setengah jam berjalan mengikuti intuisi. Lokasi yang sejatinya ialah alun-alun desa itu kini ditempati pelukis jalanan. Sayang, saya datang terlalu malam, sehingga tidak bisa menatap aksi sapuan kuas mereka.
Kendati demikian, saya cukup terhibur dengan permainan para pemusik. Dengan ditingkahi aroma keju frommage dan croissant dari guinguette (kafe beratap langit) di sekitar, saya bersama 30 orang lain menghentakkan kaki mengikuti alunan instrumental Spain, lagu hits penyanyi jazz Al Jarreau yang dibawakan empat musisi muda.
Matahari hampir tenggelam kala saya melihat kubah Basilika Hati Kudus dari Rue du Mont Cenis. Bangunan berarsitektur Neo-Romanesque itu bermandikan sinar lembayung, meski tidak mengurangi cerlang putih batu travertine yang tersusun hingga ketinggian 83 meter. Berkesan kukuh dan agung.
Namun, kesan agung yang saya peroleh perlahan luntur ketika melihat dari dekat tempat yang dibangun untuk menghormati 58 ribu korban perang Prancis-Prussia pada 1870 itu. Sebagai ganti, kesan romantis mencuat. Ratusan pasangan menikmati matahari terbenam di taman depan Basilika. Tidak lagi peduli batasan ras maupun kebangsaan. Mereka melengkapi keromantisan suasana yang menggantikan nuansa agung. Dan, di puncak butte (bukit) Monmartre setinggi 130 meter di atas pemukaan laut itulah, saya berdiri menatap Paris, seakan sedang menantikan kehadiran seseorang. (Sumber: Media Indonesia)