Sang Pemetik Berupah Rp1 Juta

  • Whatsapp
Yuliana Boinbala/Foto: Gamaliel
Yuliana Boinbala/Foto: Gamaliel

YULIANA Boinbala, 29, muncul di antara tanaman kelor dengan memanggul bakul berisi penuh daun kelor menjuntai hingga pundaknya. Langkahnya terseok-seok menandakan beban yang dibawanya tidak ringan.

“Ini beratnya sekitar 16 kilogram,” kata Yuliana sambil mengangkat bagian depan caping. Ia pun mulai membuka percakapan di Kebun Kelor Kelurahan Fatukoa, Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Daun kelor tersebut akan dikumpulkan di pondok di tengah kebun. Di sana, hasil panen itu akan ditimbang sebelum diserahkan kepada dua pekerja yang menanti.

Dua pekerja tersebut memiliki tugas memisahkan daun dari tangkai. Tugas Yuliana memetik daun sampai terkumpul 50 kg. Daun-daun kelor itu kemudian diangkut ke lokasi pengolahan di sebuah pesantren yang berjarak sekitar 10 km dari kebun. Di tempat pengolahan itu, kelor akan dikeringkan dengan menggunakan pemanas listrik selama tiga hari, sebelum diolah menjadi berbagai produk.

Dua pekerja itu masih keluarga Yuliana. Mereka baru dilibatkan dua pekan terakhir. Penyebabnya pekerjaan Yuliana mulai menumpuk. “Kalau pekerjaan banyak, kadang saya sampai malam di kebun,” katanya. Penambahan pekerja untuk mempercepat pengiriman daun ke tempat pengolahan.

Hari-hari sebelumnya hanya Yuliana yang bekerja di situ. Ia melakukan semua pekerjaan mulai memetik daun kelor, membersihkan, memangkas dahan tanaman, dan membersihkan kebun sejak kebun ini dibuka Mei 2014. Daun kelor hanya mampu bertahan selama 4 jam sejak dipetik sehingga pengiriman daun ke tempat pengolahan harus cepat.

Jika pengiriman terlambat, daun akan rusak. Karena itu, Didi menyarankan pengolahan daun kelor harus dilakukan industri rakyat, bukan industri skala besar.

Bagi ibu dua anak itu, bekerja sebagai pemetik daun kelor benar-benar enjanjikan dari segi pendapatan. Di Fatuoka, pendapatan pemetik daun kelor sebesar Rp1 juta per bulan. Sebelumnya Yuliana bekerja sebagai pedagang sayuran di Pasar Kasih, Kelurahan Naikoten. Ia pun menyewa ojek pulang pergi untuk membawa sayuran untuk dijual. Ongkos ojek pulang pergi pasar Rp50 ribu dikurangi hasil penjualan antara Rp200 ribu dan Rp250 ribu.Total uang yang dibawa pu ang sekitar Rp200 ribu.

Sekarang, sayuran di kebun lebih banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan makan keluarga. Selain itu, sebagian pendapatan dari kelor ia tabung di bank. Kebutuhan gizi keluarga juga terpenuhi karena Yuliana sering membelikan susu, telur dan makanan bergizi lainnya untuk anak-anak.

Dulu untuk memenuhi kebutuhan keluarga, orangtua Yuliana menjual sapi. Uang itu juga digunakan untuk ongkos pendidikan adik-adiknya. Karena seringnya keluarga Yuliana menjual sapi, dari 20 sapi yang ada kini tinggal enam ekor.

“Kami sepakat tidak menjual sapi lagi. Sekarang saya menanggung sebagian biaya sekolah adik-adik dan sebagian lagi ditanggung orangtua,” ujarnya. Setelah beralih profesi, perempuan yang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan itu baru tahu kandungan nutrisi daun kelor.

“Kami biasa makan kelor, tetapi tidak tahu ternyata bergizi tinggi,” ungkapnya. Ini juga menjadi alasan lain Yuliana berhenti berdagang sayur. Seperti Keloris Indonesia Kang Dudi, Yuliana telah menjadi bagian dari gerakan sosial penyebaran informasi mengenai manfaat dan khasiat kelor dalam mengatasi malnutrisi. (sumber: media indonesia/palce amalo)

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.