Riwu Ga, Pengawal Bung Karno yang Terlupakan

  • Whatsapp
Riwu Ga/Web

Kupang – Riwu Ga hanyalah seorang masyarakat biasa. Namun orang kecil seperti Riwu ini ternyata memiliki peran yang besar saat bangsa ini merdeka.

Mendiang Peter Rohi dalam bukunya, ‘Kako Lami Angalai’, menulis secara jelas peran Riwu. Bahwa memang dia hanyalah sebuah sekrup kecil dalam sejarah bangsa, namun sejarah ini sangat ditentukan oleh peran sekrup-sekrup kecil itu, karena mereka berada pada momentum yang tepat, dan pada tokoh yang tepat pula.

Read More

Selama 14 tahun, Riwu mengawal Sukarno, sejak pembuangannya di Ende pada 1934 hingga beberapa tahun seusai kemerdekaan, Riwu pun pamit ke Bung Karno, ingin kembali ke tanah kelahirannya di Sabu.
Saat itulah, kisah tentang Riwu pun terkubur dalam-dalam, dan baru ditemukan oleh Peter A. Rohi, di tahun 1991.

Bersama sahabatnya Yusak Riwu Rohi, mantan wartawan Jawa Pos yang kini Wakil Komisaris Timor Express, Peter bersama Yusak menemui Riwu di ladang jagung miliknya, di Nunkurus Kabupaten Kupang.

Riwu adalah tokoh penting dalam sejarah bangsa ini. Dan hal ini mengemuka dalam sebuah testimoni Bung Karno saat diwawancarai oleh Cindy Adams, seorang jurnalis penulis autobiografi bapak Proklamator RI itu. Di sela-sela wawancara, Sukarno meminta Cindy untuk mengkonfirmasi semua data dan informasi kepada Riwu Ga.

“Riwu Ga bukan sekedar saksi mata, tetapi ia jug berperan dan Bung Karno memberi arti bagi perannya ketika perjuangan mencapai klimaks pada hari Proklamasi. Riwu, begitu dekat dengan Bung Karno, karena dia satu-satunya yang dekat dengan Bung Karno pada saat-saat yang paling berat dari perjuangan ini, lebih dari seorang pelayan, Riwu telah menjadi pengawal, sahabat dan saudara,”demikian putri sulung Bung Karno, Megawati Soekarnoputri, pada 6 September 2004 dalam sebuah suratnya.

Megawati juga menulis bahwa ajudan, paswaplres baru ada setelah kemerdekaan, sehingga praktis peranan Riwu menjadi sangat berarti pada masa perjuangan yang berat dari seorang yang kelak menjadi pemimpin bangsa. Dan, Riwu telah sukses mengawal Bung Karno melewati jembatan emas kemerdekaan.

Setelah itu, Riwu menyadari, dia tak selamanya menjadi pendamping Sukarno. Karena sebagai presiden, Sukarno mesti dibantu mereka yang berpendidikan.

Sedangkan Riwu tidak bersekolah. Keduanya pun bersepakat untuk berpisah. Bung Karno melayani bangsa sebagai presiden, sedangkan Riwu pun ikut membangun negeri, dengan terus mencangkul ladang jagung di pedalaman Timor, dan mempersembahkan hasil terbaik bagi Indonesia. Kelima anaknya menjadi sarjana.

Riwu, Terompet Proklamasi

Bagi generasi sekarang, mungkin hanya sedikit yang tahu tentang seorang Riwu. Namun dia sejatinya adalah terompet Proklamasi, yang diminta oleh Bung Karno, untuk mengumandangkan kepada seluruh masyarakat Jakarta, karena Indonesia sudah merdeka. Peter A. Rohi menulis, pagi itu, seusai mendeklarasikan kemerdekaan RI dalam sebuah upacara di Pegangsaan Timur, Bung Karno berpikir sejenak.

Bangsa yang besar ini harus tau bahwa mereka sudah merdeka. Karena malu, jika bangsa luar sudah tau tentang kemerdekaan Indonesia, sedangkan rakyat sendiri tidak tahu. Mustahil menggunakan radio, karena masih dikuasai Jepang yang menolak mengakui keabsahan Proklamasi tersebut.

Tak lama, Bung Karno memanggil Riwu Ga. “Angalai (bahasa Sabu: sahabat), sekarang giliran angalai,” kata Bung Karno melanjutkan instruksinya, “Sebarkan kepada rakyat Jakarta, kita sudah merdeka. Bawa bendera.”

Riwu sangat bangga mendapat perintah itu. Ini tugas mulia, dari Bung Karno, harus dia jalankan. Demi bangsa. Walaupun situasi kota Jakarta sungguh mencekam. Secara resmi, Jepang tidak atau belum mengakui kemerdekaan kita. Di jalan-jalan protokol tampak para serdadu kenpetai (tentara Jepang), yang bisa saja mencegat, melarang, atau bahkan menembaknya.

Sedikit pun Riwu tak gentar. Tekadnya bulat. Amanat harus dijalankan. Ia harus menyebarkan berita kemerdekaan itu dengan berkeliling kota Jakarta, membawa bendera, seperti perintah Bung Karno.
Untuk tugas itu, Riwu tidak sendiri, ia dibantu Sarwoko, adik Mr. Sartono. Sarwoko mengemudikan mobil jip terbuka. Sementara Riwu berdiri sambil melambai-lambaikan bendera Merah Putih, dan berteriak-teriak sepanjang jalan.

“Sarwoko, adik Mr Sartono yang pegang setir jip terbuka. Kami melambai-lambaikan bendera sepanjang jalan. Saya yang berteriak sepanjang jalan. Saya berteriak dengan megafon. Rakyat tumpah ruah ke mulut-mulut gang. Saya bilang rakyat, Indonesia sudah merdeka. Mereka semua diam seakan-akan menunggu apa yang saya sampaikan lagi. Maka saya ulangi lagi, Kita sudah Merdeka, Merdeka, Merdeka. Ternyata rakyat menyambut dengan gegap gempita. Mengepalkan tangan, lalu menirukan suara saya, Merdeka. Ada yang menangis, kami semua isteris,” tutur Riwu Ga dalam sebuah wawancara ekslusif dengan Peter A. Rohi yang ditulis di tabloid Mutiara, Agustus 1995.

Begitulah. Jumat, 17 Agustus 1945, Riwu dan Sarwoko berkeliling kota Jakarta mengabarkan Proklamasi yang baru saja diucapkan Bung Karno (dan Bung Hatta) atas nama seluruh bangsa Indonesia. Riwu adalah orang kepercayaan Bung Karno, yang pagi itu mencatat sejarah besar bagi bangsa ini.

Dia rela mempertaruhkan jiwa dan raganya agar bangsa ini tau, mereka sudah merdeka. Dialah megafon hidup, lambang sebuah keberanian, petarung dari Timur Indonesia. (Par/Msc01/tim)

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.