Pulau Komodo Dikelola Berbasis Ekosistem

  • Whatsapp
Komodo di Pulau Komodo/Foto: Lintasntt.com

Kupang–Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat bersama Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, dan Menteri Pariwisata Arief Yahya menghadiri Rapat Koordinasi Pengelolaan Taman Nasional Komodo di Kantor Kemenko Maritim, Jakarta, Senin, 30 September 2019.

Rapat dipimpin Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut B Pandjaitan untuk merespon usulan Gubernur Viktor Laiskodat menutup sementara Pulau Komodo yang selanjutnya membangun pulau itu menjadi destinasi wisata alam ekslusif.

Pembangunan wisata alam ekslusif diwujudkan melalui penyediaan sarana-prasarana dan jasa wisata alam yang mempunyai kualitas berstandar internasional, serta didukung tersedianya fasilitas umum yang dibutuhkan wisatawan di luar kawasan taman nasional, seperti sarana akomodasi, transportasi, informasi, hiburan dan perbankan.

Selain itu akan dibangun Pusat Riset Komodo di Pulau Komodo serta penataan kapal cruise ke Pulau Komodo dan Labuan Bajo seperti rute, logistik dan penanganan sampah.

Namun hasil rapat menyepakati Pulau Komodo tidak perlu ditutup, tetapi dilakukan penataan bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemprov NTT.

Penutupan sementara Pulau Komodo dinilai menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha wisata, seperti pedagang cendera mata, pemandu wisata, pengrajin patung, pemilik homestay, usaha transportasi laut, serta kelompok kuliner.

Penataan ulang salah satu tujuh keajaiban dunia (New Seven Wonders of Nature) itu akan diintegrasikan dengan destinasi unggulan Labuan Bajo. Masyarakat Desa Komodo merupakan salah satu unsur dari ekosistem Pulau Komodo sehingga pengelolaannya akan menjadi satu kesatuan.

“Kendati Pulau Komodo tidak ditutup, seluruh ide konservasi Pulau Komodo yang disampaikan gubernur NTT diterima pemerintah pusat,” kata Kepala Biro Humas dan Protokol Setda NTT Marius Ardu Jelamu.

Pulau Komodo sebagai Cagar Biosfer dan World Nature Heritage akan ditata bersama pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi NTT, berbasis ekosistem (Ecoystem Base Management).

Pengelolaan Taman Nasional Komodo juga akan terintegrasi dengan pengembangan destinasi wisata Labuan Bajo. Saat ini sedang disusun ITMP (Integrated Tourism Master Plan) Labuan Bajo-Flores yang akan rampung pada 2020. Sejumlah aturan juga akan dikeluarkan seperti pembatasan kunjungan wisatawan yang diatur melalui tiket kapasitas kunjungan atau wisatawan.

Untuk tiket, dilakukan dengan sistem kartu membership tahunan yang bersifat premium. Untuk membership premium akan diarahkan ke Pulau Komodo langsung di mana komodo-komodo besar ada di sana. Sedangkan pengunjung yang tidak memiliki kartu premium akan diarahkan ke pulau lain juga ada satwa komodo seperti Pulau Rinca.

Nantinya wisatawan membeli tiket masuk Komodo dalam bentuk kartu yang berlaku selama satu tahun, seharga $1.000 (setara Rp14.000.000) per orang. “Jika 50 ribu wisatawan masuk ke Komodo dikalikan US$1.000 berarti sudah US$50 juta atau sekitar Rp600 miliar,” ujarnya. Pendapatan sebesar itu lebih banyak dari pendapatan Taman Nasional Komodo saat ini sekitar Rp30 miliar.

Namun harga tiket sebesar itu masih di bawah harga tiket masuk Taman Nasional Galapagos di Ekuador yang mencapai US$3.500 per orang, dan Taman Nasional di Afrika yang dikelola investor asal Amerika sebesar US$.2.500 per orang, hanya untuk melihat Harimau dan Singa Afrika.

Rapat Koordinasi Pengelolaan Taman Nasional Komodo di Kantor Kemenko Maritim, Jakarta, Senin, 30 September 2019/Foto Humas Kemenko Maritim
Rapat Koordinasi Pengelolaan Taman Nasional Komodo di Kantor Kemenko Maritim, Jakarta, Senin, 30 September 2019/Foto Humas Kemenko Maritim

Selain itu, usulan merelokasi penduduk yang bermukim di Pulau Komodo juga tidak disetujui pemerintah pusat.

Terkait itu, Marius minta pemerintah perlu mengendalikan pertumbuhan penduduk di pulau tersebut sehingga tidak menjadi ancaman bagi ekosistem komodo di masa mendatang.

Di Taman Nasional Komodo tercatat ada tiga desa yang didiami lebih dari 4 ribu jiwa, satu desa terdapat di Pulau Komodo dihuni sekitar 1.818 orang yang termasuk dalam zona khusus permukiman seluas 17,6 hektare sejak 24 Februari 2012.

Akan tetapi, dalam waktu antara 50-100 tahun, penduduk yang bermukim di sana bisa mencapai ratusan ribu orang dan menjadi ancaman serius bagi ekosistem komodo.

Sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, ekspedisi Douglas Burden ada 1926, mencatat adanya permukiman di Pulau Komodo yang dihuni 40 keluarga. “Sekarang saja pemburuan liar masih ada di komodo. Kita akan menambah pasokan makanan untuk komodo seperti rusa, kerbau, dan kambing,” kata Marius.

Di sisi lain, sesuai hasil monitoring populasi Komodo oleh Balai Taman Nasional Komodo dan Komodo Survival Program (KSP), populasi hewan purba itu selama lima tahun terakhir berfluktuasi dengan tren yang relatif stabil antara 2.400-3.000 ekor.

Pada area pemanfaatan wisata yang terdapat di Taman Nasional Komodo di Loh Liang Pulau Komodo dan Loh Buaya Pulau Rinca dalam kurun waktu 2003-2019 atau 16 tahun terakhir, populasi Komodo relatif stabil antara 75-105 ekor di Loh Liang dan 52-72 ekor di Loh Buaya.

“Kami tidak menghendaki Pulau Komodo nanti mengarah kepada mass tourism, yakni wisatawan datang berbondong-bondong masuk ke Pulau Komodo tanpa memperhatikan lingkungan di Pulau Komodo sehingga terjadi perburuan liar dan kerusakan lingkungan. Kami inginkan komodo menjadi liar sehingga kawasan itu seperti aslinya,” tegas Marius Ardu Jelamu. (*/gma).

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.