Kupang – Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mewajibkan penyusunan dokumen perencanaan pembangunan harus mengacu kepada dokumen kajian risiko bencana.
Saat ini, revisi terhadap Kajian Risiko Bencana NTT 2021-2023 yang difasilitasi oleh Progam Siap Siaga telah selesai. Siap Siaga adalah program untuk memperkuat manajeman bencana di lima provinsi di Indonesia yang didukung Pemerintah Australia yakni NTT, NTB, Jawa Timur dan Bali.
“Revisi dilakukan terhadap beberapa data dan informasi yang harus diakuratkan sesuai dengan konteks lokal dan juga beberapa struktur,” kata Koordiantor NTT Program Siap Siaga, Silvia Fanggidae saat menyampaikan sambutan pada pembukaan Sosialisasi Peraturan Gubernur NTT Nomor 42 Tahun 2023 Tentang Kajian Risiko Bencana dan Kick Off Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana NTT 2024-2029 di Kupang, Senin (20/11).
Silvia mengatakan, biasanya bencana disebutkan sebagai gangguan terhadap pembangunan, namun saat ini bencana dilihat sebagai hubungan sebab-akibat dengan pembangunan.”Pembangunan yang serampangan mengakibatkan bencana,” ujarnya. Untuk itu, Dia mengingatkan perencanaan pembangunan perlu mempertimbangkan risiko bencana.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTT Ambrosius Kodo yang menjadi salah satu pembicara pada kegiatan tersebut menyebutkan, siapapun yang melakukan aktivitas sehubungan dengan pembangunan di NTT harus tahu potensi bencana yang ada.
Ambrosius mengatakan, bencana terbesar di NTT bencana hidrometeorologis atau bencana yang berhubungan dengan iklim mencapai 75%. Selain itu, NTT memiliki 25 gunung api aktif yang dapat meletus kapan saja dan menimulkan korban jiwa.
Selain itu, NTT diapit dua zona penyebab gempa, dan tempat bertemunya lempeng Eurasia dan Indo-Australia, terdapat patahan naik busur (Sesar Flores). Posisi ini berdampak pada kerentanan akan bencana geologi seperti gempa bumi, tsunami dan letusan gunung api.
Bencana hidrometeorologis tidak banyak menyebabkan kematian, namun merusak aset penghidupan masyarakat dan lingkungan. Bencana geologi seperti gempa bumi dan tsunami, hanya 14% dari jumlah kejadian bencana di NTT, namun sesuai catatan BPBD, telah membunuh 5,500 jiwa di daratan Flores, Lembata dan Alor.
Karena itu, tambahnya, langkah-langkah mitigasi harus menjadi perhatian bagi semua, karena ketika gempa kalau tidak ada kesiapsiagaan dai level gempa tinggi bisa meminta korban jiwa.
“Kita berharap pimpinan di tingkatkan atas bahwa dokumen perencana pembangunan RPJPD (rencana pembangunan jangka panjang daerah) dan RPJMD (rencana pembangunan jangka menengah daerah) harus disusun mengacu kepada dokumen rencana penanggulangan bencana,” tutupnya. (mi)
Bagaimana pemerintah setempat memastikan bahwa rencana pembangunan yang telah dibuat benar-benar terimplementasi? Regard Telkom University