Lifuleo – Petani rumput laut di Desa Lifuleo, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, menghadapi masa sulit akibat rusaknya tanaman rumput laut di area budidaya pesisir Oesina.
Fenomena gagal panen ini sempat dikaitkan dengan dugaan pencemaran limbah dari PLTU Timor 1, namun hasil penelitian terbaru menunjukkan penyebabnya berasal dari faktor biologis alami.
Bupati Kupang Yoseph Lede telah nmenggelar pertemuan dengan para petani dan pihak PLN untuk mencari solusi atas kerusakan tersebut.
Dalam dialog yang berlangsung terbuka, Bupati menyampaikan kepedulian dan komitmen pemerintah daerah untuk memulihkan kembali sektor rumput laut yang menjadi sumber utama penghidupan warga pesisir.
Peneliti dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) yang turut hadir dalam pertemuan itu menjelaskan, hasil penelitian menunjukkan kerusakan rumput laut bukan disebabkan oleh pencemaran lingkungan, melainkan oleh faktor usia tanaman yang sudah tua serta penyakit “ice-ice disease”, yang menyebabkan rumput laut berlendir, memutih, dan akhirnya membusuk.
“Masalah ini bukan hanya di Lifuleo, tapi juga di berbagai daerah pesisir Indonesia,” ungkap peneliti tersebut.
Sebagai langkah pemulihan, peneliti UKI mengusulkan penggunaan bibit unggul dari Thailand yang lebih tahan penyakit.
Usulan itu langsung direspons positif oleh Bupati Kupang, yang kemudian berkoordinasi dengan PLN untuk menyediakan bantuan 400 kilogram bibit rumput laut sebagai uji coba.
Kepala Desa Lifuleo, Swingly Say, menjelaskan bantuan tersebut bukan untuk produksi massal, tetapi untuk penelitian lapangan selama 30 hari. “Jika dalam masa uji coba ini bibit bisa tumbuh dengan baik, maka akan kita kembangkan lebih luas. Tapi kalau tidak berkembang, kita akan cari solusi lain,” ujarnya.
Salah satu petani rumput laut, Sam Mada, mengaku masih berharap besar uji coba ini bisa berhasil agar ekonomi warga kembali pulih. “Sebagian besar masyarakat di sini menggantungkan hidup dari laut. Kalau rumput laut gagal panen, ekonomi desa ikut turun,” katanya.
Sam juga berharap kehadiran PLN dan PLTU Timor 1 dapat membawa dampak positif yang lebih nyata bagi warga sekitar, tidak hanya dari sisi lapangan kerja, tetapi juga pemberdayaan ekonomi pesisir.
Swingly menambahkan, idealnya setiap kepala keluarga membutuhkan sekitar 500 kilogram bibit, setara dengan 10 ton untuk seluruh kelompok, dengan total biaya sekitar Rp70 juta.
Ia menegaskan pentingnya penyusunan rencana kerja yang matang sebelum menyampaikan usulan lanjutan ke pihak PLN. “Dengan perencanaan yang jelas, kita bisa bergerak bersama dan memastikan program ini benar-benar membantu petani,” tutupnya. (*/paul)














