Nyawa 10 Juta Orang Terancam Akibat Resistensi Antimikroba

  • Whatsapp
Peserta Seminar Penggunaan Obat Hewan Secara Tepat dan Benar Menuju Manusyamriga Sewaka' yang digelar Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana Kupang, Sabtu (18/11). Foto: Lintasntt.com

Kupang–Peningkatan Resisteni antimikroba (AMR) di bebagai negara berpotensi menjadi pembunuh nomor satu pada 2050.

Hal itu diperparah dengan lambannya laju penemuan dan pengembangan antimikroba baru dari bakteri yang menjadi resisten. Resistensi terjadi akibat kelalaian dalam penggunaan obat seperti tidak tepat pemakaian dan dosis.

“Seandainya tidak ada upaya global mengendalikan resistensi ini, diperkirakan sekitar 10 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat resistensi antimikroba,” kata Kepala Seksi Monitoring dan Surveilans, Dirjen Kesehatan Masyarakat Veteriner, Kementerian Pertanian dokter hewan (drh) Imran Suandy kepada wartawan di sela-sela seminar bertajuk ‘Penggunaan Obat Hewan Secara Tepat dan Benar Menuju Manusyamriga Sewaka’ yang digelar Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana Kupang, Sabtu (18/11).

Seminar tersebut bertujuan memberikan pengetahuan kepada mahasiswa mengenai isu-isu penggunaan obat hewan, terutama yang terkait dengan resistensi antimikroba.

Dia menyebutkan upaya global termasuk Indonesia mengendalikan resistensi antimikroba sudah dirilis sejak 2016. Salah satu strateginya peningkatan pemahaman mengenai penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggungjawab. “Dokter hewan ini menjadi agen perubahan ke depan sehingga bisa mengurangi laju perkembangan resistensi,” ujarnya.

Persoalan timbul karena antibiotik tidak hanya digunakan oleh manusia, tetapi juga dimasukan dalam pakan ternak.

“Kita khawatir dengan penggunakan antibiotik di pakan ternak, akan semakin banyak bakteri yang menjadi resisten sehingga tentu ada dampaknya kepada manusia,” kata drh Sri Mukartini, dari Balai Besar Penjaminan Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan yang juga menjadi pembicara dalam seminar tersebut.

Menurutnya pemberian antibiotik kepada ternak akan berdampak terhadap adanya residu atau sisa obat yang tertinggal di dalam jaringan otot. Hal ini akan berdampak terhadap kesehatan manusia. Seminar tersebut diikuti 250 mahasiswa dan dosen dari Fakultas Kedokteran Hewan, Fakultas Pertanian, dan Dinas Peternakan Nusa Tenggara Timur.

Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Undana drh Maxs Sanam mengatakan sesuai peraturan pemerintah, penggunaan antibiotics growth promoter (AGP) di pakan harus dihentikan pada Januari 2018. Karena itu, produsen pakan maupun pengelola kesehatan hewan dan pangan perlu mengambil langkah-langkah untuk mengatasi resistensi antibiotik, tetapi di sisi lain tetap mempertahankan laju pertumbuhan hewan. (sumber: mi/palce amalo)

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.