Kupang – Puluhan rumah beratap daun lontar berderet rapi di tanah yang becek. Arsitektur bangunan sederhana dengan dinding papan dan lantai tanah, terlihat seragam. Ruang depan, ruang makan dan dua kamar tidur, sedangkan dapur dibangun terpisah di belakang bangunan utama.
Yang membedakannya hanyalah penghuninya berasal dari Suku Rote, Timor, Alor, Sabu dan Flores. Mereka hidup rukun dan jarang terlibat konflik. Tidak ada perbedaan mencolok soal ukuran rumah, dan jenis tanaman yang dibudidayakan di kebun. Halaman rumah itulah kebun warga. Dipagari dengan kemudian ditanami jagung.
“Di kampung ini, semua orang menanam jagung dan padi,” tutur Adolf Ratu, Ketua Kelompok Tani setempat. Ketika saya tiba di Uel, Desa Nunkurus, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, sekitar 60 kilometer arah timur Kota Kupang, warga sedang memanen jagung.
Sebenarnya penduduk Uel yang berjumlah sekitar 1.600 orang adalah tercatat sebagai orang miskin dengan tingkat pendapatan kurang dari Rp5.000 per hari. Kekeringan di daerah itu berlangsung selama delapan bulan, sehingga praktis warga selalau gagal tanam dan panen. Tetapi sejak diperkenalkan dengan program jagung dengan teknik teknologi Rainwater Harvesting, Uel kini menjadi penghasil jagung terbesar di daerah itu.
Produksi jagungnya mencapai 20.000 ton per tahun. Jagung dipasarkan ke luar daerah setelah diolah menjadi 40 jenis produk bernilai ekonomis antara lain perkedel jagung, tepung jagung, dan pakan ternak burung, serta bubur jagung yang mulai diperkenalkan.
Bahkan, warga kini mulai menolak menerima beras raskin. Beras yang disalurkan pemerintah khusus untuk penduduk miskin dengan harga Rp1.000/kilogram, sudah dua tahun ini tidak lagi terlihat di Uel.
Progam Rainwater Harvesting diperkenalkan oleh Zet Malelak, dosen Fakultas Pertanian Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Ia telah berkarir di Uel sejak 1999 setelah bersama isterinya Pendeta Adriana Tanggela datang ke sana.
Mereka menyaksikan kesulitan warga memenuhi pangan, dan sejumlah anak meninggal akibat gizi buruk. Sang dosen bersama isterinya kemudian menetap di sana. Programnya dimulai dengan menggali lubang di depan rumah penduduk untuk menampung air hujan. Kemudian bersama warga menutup dua aliran sungai kering di daerah itu agar bisa menampung air pada musim hujan.
Hasilnya, air hujan yang masuk ke lubang, meresap ke tanah. “Tidak ada air terbuang sia-sia ke laut,” katanya.
Pendapatan warga dari menjual produk jagung dimanfaatkan untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke tingkat yang lebih tinggi. Pendapatan per kapita warga sekitar Rp6 juta per tahun.
Pada 1999 pendapatan mereka hanya Rp1,4 juta per tahun. Sampai Maret 2009 ini, sudah ada dua sarjana pertanian dan puluhan tenaga medis yang berasal dari desa itu. Zet bersama warga berharap pemerintah perlu mencontoh program pengentasan penduduk miskin tersebut untuk diterapkan di daerah lain di Nusa Tenggara Timur.
Dinilai lebih mengena persoalan kemiskinan daripada mengucurkan miliaran rupiah untuk program yang sama, tetapi angka orang miskin dan busung lapar tetap bertambah.
Kini, bila musim jagung tiba, pedagang dari Kupang dan sekitarnya membeli jagung ke Uel kemudian menjual kembali di pasar tradisional. (palce/sumber: harian media indonesia)