La Petite Kepa Kini Memesona (1)

  • Whatsapp
Foto: Gamaliel
Foto: Gamaliel

DARI perahu motor berpenumpang empat orang. Semua mata terpaku pada riak-riak kecil berkejaran di Selat Pantar, memisahkan Pulau Kepa dan Alor, Nusa Tenggara Timur. Di kawasan yang porak-poranda akibat gempa bumi 2004 lalu.

Ombak seolah bercanda dengan perahu sebelum menghempas ke pantai berbatu Pulau Kepa. Begitu hembusan angin pegunungan menyapa, perahu bergoyang lebih cepat. Ini awal perjalanan menuju La Petite Kepa di selatan Alor, demikian pasangan asal Prancis menyebut Kepa.

Cedric Lechat, dan Anne Lechat, serta putri mereka, Lila Lechat  yang dilahir di Bali. Mereka menyewa tanah di Pulau Kepa sejak 1998 untuk membangun homestay dan usaha menyelam. Pelayaran dari Alor ke Kepa butuh waktu tidak lebih 10 menit. La Petite artinya kecil persis ukuran pulau di tengah Selat Pantar itu.

Mencapai Kepa Kecil, tidaklah sulit. Penduduk setempat bersedia menyeberangkan anda dengan imbalan Rp10.000 sampai Rp15.000 per orang. Bisa naik sampan bertuliskan ‘La Petite Kepa’ pada lambung. Itu sampan milik Anne yang tiap pagi mengantarnya ke Alor kecil, julukan bagi pesisir selatan Alor yang menghadap ke Kepa.

Sarjana kimia air dan lingkungan hidup itu bekerja di perusahaan budidaya rumput laut di Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor, dan Lila bersekolah di taman kanak-kanak di Alor Kecil. Bisa menyeberang dengan perahu milik Cedric, jika jumlah anggota rombongan banyak. Sekarang, perahu besar itu bertugas mengantar penyelam ke selat antara Kepa dan Pulau Pantar di bagian selatan.

Tepat 10 menit, perahu membuang jangkar di Pantai Kepa. Dari sini, dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 300 meter menuju homestay milik pasangan tersebut. Jika berkunjung di Nopember atau Desember, sebaiknya memakai pelindung kepala agar terlindung terik matahari dan debu. Jangan lupa membawa air kemasan sebagai pelepas dahaga.

Dari waktu ke waktu, wajah Kepa memang tidak berubah. Ini menjelasakan kenapa hanya 14 keluarga nelayan bersedia tinggal di sana. Selain itu, tidak ada air tawar di Kepa. Penduduk setempat, termasuk keluarga Cedric tiap dua hari sekali mengayuh sampan ke Kepa Kecil mengambil air. Pepohonan yang meranggas menjadi bukti betapa berharganya air bagi penghidupan di Kepa. Puluhan sampan berjejer di pesisir pantai, penduduk mengayuh sampan itu mengangkut air untuk minum dan mandi.

Namun, sentuhan Cedric, pulau itu kini memesona. Misalnya tidak ditemukan lagi sampah berserakan di pantai. Menurut Anne, banyak warga lokal bahkan pegawai dinas kesehatan setempat seusai piknik di akhir pekan, meninggalkan sampah seperti bekas kemasan air mineral, dan makanan kecil. “Mereka tidak menghargai kebersihan lingkungan. Kalau begini terus nanti tamu tidak datang,” katanya. Jika ditemukan sampah, ia pergi memunggutnya untuk dibuang di tempat sampah yang tersedia.  (Palce Amalo/bersambung…)

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.