La Nina di Tahun 2020, Apakah berdampak pada NTT?

  • Whatsapp
Ilustrasi Banjir/Foto" Gamaliel

AKHIR September hingga awal Oktober bencana hidrometeorologi terjadi di beberapa wilayah Indonesia seperti tanah longsor di Sukabumi, banjir bandang di Cianjur, serta puting beliung di Bogor.

Berdasar data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dari 1 Januari hingga 29 September 2020 mencatat 791 kejadian banjir, 573 kejadian puting beliung, 387 kejadian tanah longsor, serta 314 kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) atau kurang lebih 99 persen bencana merupakan bencana hidrometeorologi.

Read More

Hal ini berdampak pada 322 orang meninggal dan hilang, 454 mengalami luka-luka, dan 4.481.641 warga mengungsi akibat bencana yang terjadi berdasar laporan data BNPB.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sejak 07 September 2020 sudah merilis informasi peringatan kewaspadaan selama pancaroba menjelang masuknya musim hujan 2020/2021.

Hal ini disebabkan dampak dari kondisi atmosfer yang labil yang diperkuat adanya gelombang ekuatorial Rossby yang menyebabkan beberapa wilayah Indonesia mengalami cuaca ekstrem.

Berdasar rilis informasi terbaru BMKG pada tanggal 03 Oktober 2020 bahwa hingga akhir tahun 2020 fenomena La Nina diprakirakan akan berkembang terus hingga mencapai intensitas sedang (moderate) yang berdampak penambahan massa udara basah di wilayah Indonesia sehingga dapat meningkatkan pembentukan awan-awan hujan.

La Nina merupakan fenomena cuaca global dimana suhu muka laut di Samudra Pasifik lebih rendah daripada normalnya atau anomaly suhu muka laut di Samudra Pasifik bernilai negatif. Fenomena La Nina ini biasanya dikaitkan dengan fenomena musim hujan lebih panjang di wilayah Indonesia seperti pada tahun 2007 dan 2010 dimana intensitas La Nina cukup kuat.

La Nina dapat diidentifikasi dengan beberapa cara salah satunya memanfaatkan dua indeks, yaitu indeks ONI (Oceanic Nino Index) dan indeks ENSO (El Nino-Southern Oscillation).

Indeks ONI memanfaatkan wilayah di Samudra Pasifik pada koordinat 5°LU hingga 5°LS serta 120° BB hingga 170°BB atau yang biasa disebut wilayah NINO 3.4. Sedangkan indeks ENSO memanfaatkan nilai SOI (Southern Oscilation Index) yang menghitung beda tekanan di wilayah Pasifik Barat dengan Pasifik Timur.

BMKG sebenarnya sudah menginformasikan akan adanya potensi fenomena La Nina yang terjadi hingga akhir tahun 2020 sejak bulan Juli. La Nina diprakirakan akan berada di intensitas lemah hingga sedang kemudian pada awal tahun 2021 akan mulai semakin melemah dan berakhir pada bulan Maret-April 2021.

Berdasar penelitian dari Supari, dkk. (2018) wilayah Indonesia memiliki pengaruh yang beragam akan fenomena La Nina terhadap total hujan bulanan. Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada puncak musim hujan (Desember hingga Februari) tidak akan signifikan terhadap kenaikan total curah hujan bulanan dibandingkan tanpa adanya fenomena La Nina.

Berdasar informasi dari Stasiun Klimatologi Kupang bahwa wilayah NTT diprakirakan curah hujan akan bersifat normal pada musim penghujan yang artinya tidak ada penambahan jumlah hujan kecuali pada wilayah Kabupaten Manggarai, Manggarai Timur, dan Ngada berpotensi jumlah hujan bulanan akan lebih banyak dibandingkan normalnya.

Awal musim hujan sendiri di wilayah NTT diprakirakan pada akhir bulan November hingga awal bulan Desember kecuali wilayah Kabupaten Manggarai diprakirakan pertengahan bulan Oktober sudah memasuki musim hujan.

Meskipun dampak dari La Nina di wilayah NTT secara umum kurang signifikan, namun saat pancaroba memasuki musim hujan pembentukan awan-awan hujan akan semakin intens yang dapat berpotensi menyebabkan hujan dengan intensitas sedang hingga lebat serta dapat disertai petir dan angin kencang sesaat bahkan dapat menyebabkan banjir, longsor serta puting beliung.

Kewaspadaan akan potensi bencana saat pancaroba hingga memasuki puncak musim hujan diharapkan dapat mengurangi dampak yang dapat ditimbulkan akibat bencana hidrometeorologi.

Para pemangku kepentingan dan masyarakat diharapkan lebih siap dan antisipatf terhadap potensi cuaca ekstrem yang akan terjadi dengan senantiasa selalu memperbarui informasi dari instansi resmi seperti BMKG dan BNPB. Pemerintah dihimbau untuk melakukan pengelolaan tata air yang terintegrasi dari hulu hingga hilir guna menyiapkan antisipasi debit air berlebih. (Sulton Kharisma / Prakirawan Stasiun Meteorologi El Tari Kupang)

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.