Klaim Tiongkok atas Natuna Mirip Klaim Australia atas Pulau Pasir

  • Whatsapp
Kepulauan Natuna

Kupang –  Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni mengatakan kabar dimasukkanya sebagian wilayah perairan laut Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau dalam peta Tiongkok yang dilakukan Australia terhadap Pulau Pasir di Laut Timor.

“Saya melihat klaim Tiongkok atas Natuna itu mirip dengan cara Australia mengklaim secara sepihak gugusan Pulau Pasir (ashmore reef) di selatan Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur menjadi bagian dari yuridiksi negeri Kanguru,” kata Ferdi kepada lintasntt.com di Kupang, Senin (30/3/2015).

Feri mengatakan tidak cukup pernyataan Menko Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo yang menyebutkan klaim Negeri Tirai Bambu itu bagai jauh panggang dari api. Tetapi coba dilihat letak Pulau Pasir yang hanya dicapai sekitar empat jam dari Pulau Rote, tetapi diklaim Australia dan kini menjadi bagian dari wilayahnya. Padahal jarak Pulau Pasir dan Darwin di Australia Utara mencapai ratusan kilometer.

Setelah Pulau Pasir menjadi milik Australia, saat ini hampir 85 persen wilayah Laut Timor yang kaya migas itu dikuasai Australia.

Ia mengatakan lepasnya sejumlah pulau ke tangan negara lain sebagai bukti bahwa Indonesia lemah dalam melakukan komunikasi internasional dengan negara-negara lain. Selain itu lemah melakukan diplomasi untuk mempertahankan keutuhan NKRI.

Mantan agen imigrasi Kedubes Australia itu mengatakan kesalahan sesungguhnya yang perlu dicatat ialah ketika Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa membiarkan Cina melakukan klaim sepihak atas zona ekonomi eksklusifnya (ZEE) sehingga mengakibatkan posisi Kepulauan Natuna dimasukan ke dalam wilayah ZEE Tiongkok.

Klaim Tiongkok tidak hanya itu. Pada 2009 negara itu menggambar sembilan titik ditarik dari Pulau Spratly di tengah Laut China Selatan, kemudian diklaim sebagai wilayah Zona Ekonomi Eksklusifnya. Pemerintah Indonesia di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah memprotes lewat Komisi Landas Kontinen PBB.

Sementara itu Presiden Joko Widodo ketika diwawancarai Koran Yomiuri Shimbun di Jepang, menegaskan sembilan titik garis yang selama ini diklaim Tiongkok dan menandakan perbatasan maritimnya itu tidak memiliki dasar hukum internasional apapun.

“Garis putus-putus yang diklaim pembaruan atas peta 1947 itu membuat Indonesia berang. Padahal, RI sebenarnya berencana menjadi penengah negara-negara yang berkonflik akibat Laut China Selatan. Klaim yang bikin repot enam negara ini dipicu kebijakan pemerintahan Partai Kuomintang (kini berkuasa di Taiwan) yang menafsirkan wilayah China mencapai 90 persen di Laut China Selatan,” ujarnya.

Pada 1597, Kepulauan Natuna sebetulnya masuk dalam wilayah Kerajaan Pattani dan Kerajaan Johor di Malaysia. Namun pada abad 19, Kesultanan Riau menjadi penguasa, pulau yang berada di jalur strategis pelayaran internasional tersebut di daftar ke PBB sebagai bagian dari yuridiksi Indonesia pada 18 Mei 1956.

Sebuah kajian ilmiah dari Malaysia menyebutkan Natuna secara sah seharusnya milik negeri Jiran. Namun, untuk menghindari konflik lebih panjang setelah era konfrontasi pada 1962-1966, Malaysia tidak menggugat status Natuna.

Lepas dari klaim sejarah tersebut, Indonesia sudah membangun pelbagai infrastruktur di kepulauan seluas 3.420 kilometer persegi ini. Etnis Melayu adalah penduduk mayoritas mencapai 85 persen, disusul etnis Jawa 6,34 persen, dan Tionghoa 2,52 persen.

Jurnal “The Diplomat” pada 2 Oktober 2014 sudah meramalkan konflik terbuka antara Tiongkok-Indonesia akan muncul cepat atau lambat terkait klaim kepemilikan atas Natuna. (gamaliel)

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.