Kupang – Kuasa Hukum Keluarga Banobe, Bildad Thonak, SH menegaskan bahwa pemilik sah tanah di Kisbaki atau Kelurahan Nunbaun Delha dan Manutapen, Kecamatan Alak, Kota Kupang adalah keluarga Banobe.
Secara turun-temurun, Keluarga Banobe menguasai tanah seluas 200 hektare di lokasi tersebut, diperkuat dengan surat pendaftaran tanah atau sertifikat landreform yang diterbitkan pada tahun 1960, dan putusan pengadilan terkait lokasi tanah.
Penegasan Bildad Thonak ini sekaligus menjawab polemik di masyarakat yang menyebutkan tanah di lokasi itu bukan milik keluarga Banobe. Malah, Keluarga Baobe dijuluki mafia tanah.
“Tanah ini berasal dari Keluarga Banobe yang dimanfaatkan oleh Kementerian Kehutanan untuk persemaian sekitar 50an hektare, yang selanjutnya tanpa pesetujuan dari keluarga Banoe, dijadikan kawasan hutan selama bertahun-tahun,” kata Bildat Thonak dalam jumpa pers di Kupang, Sabtu (3/5/2025) malam. Jumpa pers juga dihadiri alih waris keluarga Banobe antara lain Filmon Kay, Isak Musa dan Habel.
Selanjutnya, setelah melalui perjuangan yang panjang dan melelahkan, Kementerian Kehutanan bersedia mengeluarkan 20an hektare dari titik koordinat kawasan hutan untuk diserahkan kepada pemiliknya, yakni Keluarga Banobe pada akhir 2024.
Saat ini, tanah yang sudah diserahkan terdiri dari 16 hektare dan 5,6 hektare. Masih ada lagi 7 hektare yang belum diserahkan karena berstatus tanah objek reforma agraria.
Ditempati 2.000-3.000 Keluarga
Menurutnya, setelah dikeluarkan dari status sebagai tanah kehutanan, ternyata lokasi tersebut sudah ditempati masyarakat, antara 2.000-3.000 keluarga
Kemudian Ahli Waris Keluarga Banobe, Filmon Kay dan keluaga lainnya memfasilitasi masyaakat yang tinggal di tanah tanpa izin tersebut untuk mengurus sertifikat kepemilikan tanah.
Awalnya, kegiatan ini berjalan lancar, namun belakangan muncul penolakan dari sejumah warga. Mereka juga menyebut keluarga Banobe sebagai mafia tanah.
Menurut Filmon, pernyataan yang menyebut keluarga Banobe mafia tanah, muncul di media sosial. Setelah ditelusuri, ternyata mereka menjual tanah di dalam areal 20an hectare itu kepada warga lainnya untuk ditempati. Akan tetapi, sejuah ini, ribuan keluarga yang membeli tanah dan telah berrmukim di lokasi itu belum memiliki sertifikat.
Anggota Tim Kuasa Hukum, Obet Djami, S.H mengatakan, sejauh ini pihaknya masih melakukan pendekatan secara humanis kepada masyarakat yang bermukim di tanah tersebut, belum ada langkah hukum, meskipun mereka memiliki bukti-bukti yang kuat untuk melayangkan gugatan ke pengadilan.
“Kami mengunakan pendekatan humanis karena ini kepentingan banyak orang yang kami perjuangkan,” katanya. (gma)