Gagasan Ekonomi Kerakyatan itu Tinggal Kenangan

  • Whatsapp
BEN MBOI (kanan)
Ben Mboi (kanan) dan Frans Lebu Raya (kiri). Foto: Gamaliel

ANDA tentu ingat gaya kepemimpinan mantan Presiden Soeharto? Jangan melawan presiden. Bahkan, bila ada kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan nurani pejabat di bawahnya, tidak ada salahnya anda lekas pergi dengan meminta pensiun dini.

Tetapi itu tidak ada dalam catatan harian Mantan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) periode 1978-1988, Aloysius Benediktus Mboi. Ia marah-marah kepada Soeharto yang datang meninjau serangan hama pada tanaman padi di Kabupaten Sumba Timur.

Read More

Ketika itu, di pertengahan 1979, “Saya tanya kepada presiden, kenapa datang ke Sumba Timur. Di sini tidak ada bencana. tetapi yang ada adalah budaya pertanian yang jelek, “katanya disambut tepuk tangan puluhan pejabat dan mantan pejabat NTT pada acara peluncuran buku berjudul ‘Ben Mboi’ Himpunan Pidato Pilihan Selama 10 Tahun Menjadi Gubernur NTT’ di Kupang beberapa tahun lalu.

Soeharto yang mendapat pertanyaan begitu, kaget. Sejumlah menteri yang turut dalam rombongan presiden, balik memarahi Ben, demikian ia akrab disapa. “Kamu kasar sekali, “tuturnya meniru ucapan seorang menteri. Sebenarnya, Ben sedang mengkritik kebijakan Soeharto di sektor pertanian yang dinilainya pro pengusaha, dan tidak memihak petani. Intinya menurut Dia, Soeharto dianggap tidak meletakan dasar berpijak kuat bagi petani sehingga mereka terus-menerus menjadi bulan-bulanan pengusaha.

Misalnya, petani diwajibkan menjual hasil panennya langsung ke pengusaha yang harganya ditentukan pengusaha tersebut. Cara-cara ini mengakibatkan petani rugi, pendapatan rendah, yang berdampak pada hilangnya kemampuan daya beli terhadap bibit, pupuk, dan pestisida. Jika ini tidak dilawan, petani di mana pun tidak berkembang. Sebaliknya, pengusaha terus berkembang karena mendapat untung cukup besar dari penjualan komoditi yang dihasilkan petani.

Pulang dari Sumba Timur, Ben mengaku tidak menyesal telah memarahi presiden. Ia malah menantang dengan mengeluarkan kebijakan yang disebut Ekonomi Kerakyatan. Gagasan ini melarang petani menjual hasil panennya ke pengusaha, tetapi ke koperasi yang anggotanya adalah petani. Karena itu, di tiap desa dibentuk koperasi.

Komoditi yang terkumpul di koperasi dijual ke pedagang perantara dengan harga cukup tinggi yang nantinya dijual lagi ke pengusaha. Kebijakan itu terus dijalankan di desa-desa di seluruh NTT selama 10 tahun masa kepemimpinannya.

Gagasan itu muncul setelah ia melakukan perjalanan mengelilingi wilayah NTT di awal kepemimpinannya sebagai gubernur. Alumnus Fakultas Kedokteran UI 1961, dan Master Public Health dari Institute Prins Leopold Anwerpen, Belgia, 1972 itu, kadang tidur bersama penduduk desa untuk merekam persoalan sesungguhnya yang tengah dihadapi yang terkait dengan masalah pangan, kesehatan, pendidikan, dan bagaimana pemecahannya menurut warga desa.

Keberadaan suami dokter Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan ini bersama warga dilandasi keinginan merasakan tinggal bersama warga desa, mendengar keluhan, melihat kondisi warga, dan mengindera apa saja kebutuhan mereka.   Sayang, menteri ekonomi yang tidak puas terhadap sikap mantan dokter TNI berpangkat kolonel itu atas sikapnya terhadap presiden di Sumba Timur, ia dipanggil ke Jakarta karena ia dinilai membahayakan negara karena merestrukturisasi ekonomi.

Dalam sebuah pertemuan di Jakarta yang juga dihadiri pimpinan TNI, Ben kena marah. Namun, lelaki yang fasih berbicara empat bahasa asing , Inggris, Jerman, Perancis, dan Belanda itu tetap tak mau kalah. “Saya katakan dengan tegas, langkahi mayat saya dulu baru hentikan kebijakan ekonomi kerakyatan. Rapat akhirnya bubar dan tidak ada kesepakatan, “katanya sambil mengangkat telepon selulernya yang tiba-tiba berdering.

Dalam buku setebal 507 halaman itu, editor buku, Frans Skera yang juga mantan bawahan Ben di era 1980-an, menulis di masa kepemimpinannya, Ia mengeluarkan sejumlah program pengentasan kemiskinan dan pemenuhan pangan antara lain Operasi Nusa Makmur (ONM) dan Operasi Nusa Hijau (ONH).

Dampak program itu adalah daerah-daerah di NTT yang sering mengalami krisis pangan berubah jadi surplus. Program itu berjalan seiring Ekonomi Kerakyatan, dan berdampak positif terhadap kemakmuran rakyat.

Dia mencatat pada 1979 sebelum program ONM dan program Ekonomi Kerakyatan, produksi jagung di NTT 127.789 ton/tahun. Satu tahun setelah ONM yakni 1983, produksi jagung naik menjadi 248.590 ton. Naik lagi pada 2005 sebesar 318.730 ton. Buku itu dihimpun dari pidato tidak tertulis sang gubernur yang dianggap bermanfaat bagi kemajuan dan perkembangan pemerintahan dan pembangunan di NTT. Di luar itu semua, setelah NTT berganti gubernur, semua program itu tidak dilanjutkan. Termasuk program Ekonomi Kerakyatan.

Ben berkisah sebelum meninggalkan NTT pada 1988, dana masyarakat yang tersimpan di koperasi-koperasi mencapai Rp3 miliar. “Saya tidak tahu siapa yang bertanggungjawab terhadap dana sebesar itu, dan dibawa ke mana,” katanya. Bongkar pasang program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi di NTT oleh gubernur sesudahnya membuat daerah ini selalu berkutat dengan persoalan yang sama tiap tahun dan tidak ada solusi yang tepat.

Persoalan itu seperti gagal panen, ancaman kelaparan, busung lapar, dan masih banyak lagi. Kini, program tersebut tinggal kenangan. Apa boleh buat. Jika saja ekonomi kerakyatan model Ben Mboi terus diterapkan dan dikembangkan. “Saya bilang kepada penulisnya. jika pidato saya bermanfaat untuk masyarakat NTT, silahkan saja dibukukan, “tuturnya. (Sumber: Media Indonesia/Palce Amalo)

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.