Kupang – “Refleksi tentang realitas historis keberadaan manusia bukan saja catatan sejarah yang kaku, apalagi dimaknai sebagai rentetan kronologis semata. Hal ini menunjukan bahwa, untuk dapat memahami manusia maka individu memerlukan sejarah. Melupakan sejarah sama dengan menghilangkan nyawa individu itu sendiri”
Angle tulisan saat ini merupakan telaah untuk menawarkan pendekatan yang humanis terhadap setiap individu, kelompok, pemerhati sosial, maupun kepada semua insan yang menempatkan diri sebagai masyarakat sipil.
Bagi saya, bukan lagi hal yang baru, bahwa untuk mencapai keadilan dan inklusi sosial maka sepatutnya individu mengetahui terlebih dahulu apa yang mesti dikerjakan dan kepada siapa Ia akan bekerja.
Dan Karena hal ini berkaitan dengan inklusi sosial yang berfokus pada keterlibatan kelompok rentan (masyarakat adat) maka sepatutnya pendekatan yang digunakan pun tidak boleh bersifat absolut melainkan mengedepankan fleksibilitas.
Prinsip felksibilitas dalam pemberdayaan masyarakat adalah salah satu pola yang tidak memiliki standar keterwakilan, apalagi membentuk sikap superioritas terhadap yang lain.
Namun bagi saya, keberadaan setiap kelompok masyarakat tentu memiliki sisi keunikan yang perlu dijadikan rumusan dalam setiap kebijakan, lebih dari pada itu, menjadikanya eksis.
Untuk mencapai hal tersebut, tentunya kita membutuhkan pendekatan yang lebih segar dalam hal ini menempatkan budaya sebagai asupan utama proses terbentuknya sebuah kelompok. Budaya adalah sumber yang tak dapat kita abaikan.Senada dengan pernyataan Ki Hajar Dewantara: budaya adalah hasil karya manusia yang merupakan ekspresi dari nilai, kepercayaan, dan norma masyarakat. Budaya juga merupakan warisan dari nenek moyang yang perlu dilestarikan.
Jika interpretasi terhadap budaya adalah bentuk ekspresi nilai, keyakinan dan pengetahuan dari masyarakat maka seharusnya pengetahuan lokal (Local Wisdom) itu memiliki nilai yang setara dengan ilmu pengetahuan pada umumnya.
Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan disini adalah bagaimana kita mengeksplor keeksisan dari lokal wisdom itu? Di Indonesai misalnya, terdapat 1.300 suku yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Hebatnya, setiap suku ini memiliki ciri khas masing-masing yang turut membentuk cara hidup masyarakat, baik interaksi dengan alam maupun dengan sesama manusia.
Setiap simbol budaya yang dimiliki oleh masyarakat ini pun sangatlah beragam dan penuh makna.Mulai dari yang berwujud artefak seperti pakain adat, alat musik tradisional, rumah adat, sampai pada yang berwujud tak benda seperti, bahasa, dan lagu daerah.
Akan tetapi, sampai dengan saat ini, pengetahuan-pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat masih tersendat oleh pandangan masyarakat luas bahwa pengetahuan-pengetahuan tersebut belum memenuhi syarat untuk disebut sebagai ilmu.Ataupun kalau diakui, basisnya pun masih bersifat deskriptif semata lantaran keterbatasan sumberdaya manusia ditahun-tahun sebelumnya yang lebih mengutamakan tradisi lisan ketimbang tradisi tulis menulis
Namun demikian, kenyataan ini bukanlah suatu kebetulan, sebab pada umumnya standar yang disepakati masyarakat untuk melihat kualitas suatu masyarakat lebih berorientasi pada kepentingan yang pragmatis. Sebut saja sikap superioritas yang digunakan masyarakat moderan dalam memandang masyarakat adat sebagai kelompok marginal.
Sikap ini menggunakan parameter keterbatasan akses dan kesejahtraan hidup sebagai tolak ukur utama dalam menempatkan individu dan kelompok masyarajat adat sebagai kelompok yang lemah atau inferior.
Umumnya, sikap superioritas juga menempatkan melek aksara sebagai unsur utama dalam mengukur keberhasilan maupun keeksisan suatu kelom di masyarakat.
Jika demikian melek aksara adalah salah satu parama meter, maka pertanyaannya adalah bagaimana individua atau kelompok masyarakat umum menempatkan tradisi lisan yang dimiliki masyarakat sebagai sumber asupana dalam melegitimasi setiap tindakan masyarakat?
Transformasi Dari Lisan ke Tulisan
“Bahasa pada hakikatnya adalah lisan bukan tulisan,” kata Liea Charlie dalam kolom bahasa, edisi Jumat, 11 2010. Secara kronologis, bahasa berevolusi dari lisan ke tulisan.Sedangkan budaya bergerak dari “orality” ke “literality”
Bukan hanya itu, sejak tulisan pertama kali lahir lebih dari 5.000 tahun lalu di Sumeria (Irak Selatan), disusul Mesir, China, dan sampai detik ini, sejarah mencatat bahwa bangsa bertulisan lebih unggul dari bangsa yang berlisan. Dengan demikian fakta ini meyakinkan bahwa, tulisan adalah cikal bakal peradaban.
Selanjutnya, untuk mencapai prinsip kesetaraan dan inklusifitas,maka salah satu pendekatan sederhana yang dapat digunakan adalah prespektif bottom-up,yang mana, pandangan dari setiap kelompok memiliki akses dan kesempatan yang sama untuk mengekspresikan nilai, pandangan, pula keyakinan dengan usaha untuk memenuhi unsur yang disepakati masyarakat modern tanpa mengurangi makna tradisi atau budaya itu sendiri.
Transisi dari masyarakat tutur ke masyarat literat akan memberi akses terhadap partisipasi akar rumput dalam meliteraturkan pandangan dan nilai-nilai pengetahuan yang berbasis pada kearifan lokal sebagai cikal bakal individu dan kelompok.Dengan begitu, istilah pemarginalan dalam bentuk sikap superioritas akan mulai terkuras, sebab cara pandang terhadap kelompok marginal seperti masyarkat adat tidak lahi bersifat pragmatis, melainkan ideologis.
Prespektif bottom-up adalah pendekatan sederhana dan objektif dalam mengantarkan masyarajat tutur menuju masyarakat literat dengan menempatkan individu sebagai kreator utama dalam merumuskan cara pandang masyarakat yang berbasis pada bahasa teks sebagai rujukan yang dapat dinikmati oleh semua kalangan.Selain, itu prespektif ini juga memiliki keunggulan yang diturunkan dari sifat bahasa teks itu sendiri, yakni tulisan.
Partisipasi akar rumput yang berorientasi pada produksi informasi dalam bentuk teks memiliki kelebihan dibandingkan tradisi lisan yang dimiliki masyarakat sebelumnya.
Jika tradisi lisan lebih berfokus pada narasi dan cerita yang berwujud oralitas, maka tulisan jauh lebih akurat, tahan lama, dan objektif dalam menyimpan, melahirkan, memproses, dan mengembangkan gagasan yang berbasisi kerarifan lokal.
Dampak Transisi Tradisi Lisan ke Tulisan Bagi Masyarakat Adat
Jika dunia oralitas penuh dengan ungkapan dan ekspresi verbal, maka transisi tradisi lisan ke tulisan tidak lagi memandang budaya tutur sebagai sastra lisan ataupun hikayat semata.
Hal ini memungkinkan, ekspresi verbal yang memiliki nilai spiritual dapat memberi akses terhadap bidang kajian ilmu pengetahuan yang lebih objektif dan transparan tanpa adanya diskriminasi. Selain itu, dampak praktis yang dapat diperoleh masyarkat adalah keuniversalan pemahaman terhadap pola dan pendekatan yang digunakan dalam memahami keberadaan setiap kelompok masyarakat.
Dengan demikian, pandangan yang menafikan kearifan lokal kelompok karena perbedaan dalam alur pemikiran, proses kognitif, dan cara yang berbeda dalam memahami dunia tidak lagi menjadi alasan terbentuknya pemarginalan dalam bentuk cara pandang.
Ibarat dunia adalah media, maka pendekata partisipasi akar rumput dalam bentuk tulisan memberi kemandirian kepada setiap kelompok untuk mengekspresikan diri secara objektif tanpa adanya intervensi kelompok dominan terhadap cara pandang masyarakat, dan bagaimana kelompok itu memberi asupan pada ilmu pengetahuan moderen. (Beny Faofeto)