Eliminasi Malaria, Kemenkes Bagikan 20 Juta Kelambu Berinsektisida

  • Whatsapp
Foto dari Berau.co

Kupang–Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah membagikan sekitar 20 juta kelambu berinsektisida di seluruh Indonesia selama 10 tahun terakhir untuk mempercepat eliminasi malaria.

Pembagian kelambu tidak hanya difokuskan di daerah endemis tinggi malaria tetapi juga di daerah daerah dengan endemis malaria rendah, bahkan daerah bebas malaria juga dibagikan sebagai buffer stock guna mengantisipasi kasus malaria impor.

“Kalau ada kasus malaria impor, mereka tetap punya obat untuk malaria,” kata Kasubdit Malaria Kemenkes dokter Nancy Angraeni di sela-sela Kegiatan Pembentukan Konsorsium Eliminasi Malaria se-Daratan Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (25/5).

Bantuan kelambu merupakan bagian dari strategi spesifik eliminasi malaria yang tujuannya menurunkan jumlah kasus malaria secara cepat. Bantuan lain ialah bubuk Larvasida yang digunakan untuk membunuh larva nyamuk, serta antimalaria, Dihidroartemisinin-Piperakuin (DHP) dan Primakuin.

Sampai akhir 2018, Kemenkes mencatat 28 kabupaten di seluruh Indonesia masih endemis tinggi malaria, termasuk empat kabupaten di NTT yakni Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya.

Daerah endemis tinggi malaria memiliki jumlah kasus positif malaria per 1.000 penduduk per tahun (Annual Parasite Incidence/API) lebih dari 5%. Dokter Nancy mengingatkan seluruh bantuan tersebut dibagikan secara gratis kepada masyarakat atau tidak dipungut biaya. Masyarakat juga diingatkan tidak membeli obat malaria secara sembarangan karena bisa mengarah kepada resistensi obat dan efek samping lain.

“Obat-obat antimalaria itu pengadaannya di pusat bagian Farmalkes (Kefarmasian dan Alat Kesehatan). Semuanya gratis. Kalau tidak gratis menjadi pertanyaan kami,” tandasnya.

Dukungan Kemenkes juga diberikan dalam bentuk pelatihan sumber daya manusia (SDM) bidang kesehatan. Sedangkan dari sisi anggaran eliminasi malaria diturunkan lewat dana Dekosentrasi.

Sedangkan di tingkat kabupaten dan kota atau puskemas, ada dana bantuan operasional kesehatan (BOK) yang dimanfaatkan untuk operasional pelayanan kesehatan dan menajamen puskesmas, serta dana bantuan Global Fund (GF) untuk penanganan malaria di NTT. “Dana-dana itu bisa diakes oleh daerah, tentu daerah juga punya anggaran sendiri,” ujarnya.

Meskipun masih ada empat kabupaten endemis tinggi malaria di NTT, menurut Dia, kasus malaria dan API di daerah ini terus menurun dari tahun ke tahun. Pada 2014 kasus positif malaria di NTT tercatat 64.953 kasus, dan pada 2018 telah berkurang menjadi 18.064 kasus. Sendangkan API tercatat 12,81% pada 2014, tercatat 3,37% pada 2018.

Selain itu, sebanyak 59% penduduk NTT sudah berada di wilayah endemis malaria rendah, serta dalam kurun waktu empat tahun terakhir, konfirmasi laboratorium sudah mencapai lebih dari 95% dan pengobatan kasus positif sesuai standar lebih dari 90%.

Dia juga mengingatkan risiko penularan kembali malaria di daerah endemis rendah lantaran masih adanya daerah endemis malaria secara nasional maupun global, banyaknya penduduk yang melakukan perjalanan ke daerah endemis malaria. “Pada 2018 tercatat 2.227 pelaku perjalanan positif malaria,” ujarnya,

Faktor iklim dan lingkungan juga bisa memudahkan perkembangbiakan vektor penular malaria, dan banyaknya pintu perlintasan dengan negara tetangga.

Karena itu menurut Dia, aktivitas yang dilakukan antara lain memperkuat surveilans migrasi dan surveilans vektor, manajemen lingkungan untuk mengurangi faktor risiko, serta memperkuat deteksi dini dan proaktif bekerjasama dengan negara tetangga dalam pencegahan dan pengendalian malaria.

Dokter Maria Endang Sumiwi dari Unicef Indonesia mengatakan penyakit malaria mengakibatkan pertumbuhan anak-anak tidak normal atau stunting, sehingga intervensi gizi pada anak-anak sangat penting. “Kalau ‘bocor’ gizi menjadi tidak berguna dan menyebabkan penyakit infeksi seperti malaria, diare, dan cacingan,” ujarnya.

Menurutnya hal-hal sederhana mencegah cacingan dan diare seperti anak-anak harus memakai sandal saat bermain serta minum obat cacing secara reguler, dan cuci tangan pakai sabun. “Kalau anak sering diare, dinding ususnya licin jadi gizi lewat tidak diambil anaknya,” ujarnya. (sumber: mi)

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.