Jakarta – Aktivis Lingkungan darri Yayasan EcoNusa dan Yayasan Madani Berkelanjutan minta Presiden Jokowi melanjutkan Intruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang evaluasi izin dan peningkatan produktivitas atau moratorium sawit.
Lewat keterangan tertulis, Jumat (17/9/2021), setidaknya ada empat catatan penting dari para aktivis lingkungan bagi pemerintah agar memperpanjang moratorium sawit.
Empat catatan itu yakni yakni tata kelola perizinan sawit belum selesai, tata kelola produkivitas sawit belum maksimal, memastikan landasan peraturan untuk sektor sawit yang berkelanjutan, dan memperkuat bukti komitmen Indonesia untuk mitigasi perubahan iklim.
Pendiri Yayasan Madani Berkelanjutan, Teguh Surya, mengatakan sampai akhir 2020, terdapat 11,9 juta hektare (ha) izin sawit tak bertutupan, 10,7 juta ha izin sawit bertutupan, dan 8,4 juta ha lahan sawit yang tidak memiliki izin.
“Dari data tersebut masih terdapat banyak lahan yang tidak diketahui statusnya. Permasalahan ini dapat terjawab melalui evaluasi perizinan, pengecekan antara area perkebunan sawit dengan data perizinan, baik yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan termasuk di wilayah kelola masyarakat,” jelas Teguh Surya.
Selain itu, Menurut CEO Yayasan EcoNusa Bustar Maitar, evaluasi terhadap tata kelola perizinan sawit perlu didorong oleh pemerintah daerah agar tidak merugikan negara. Pasalnya sampai saat ini, belum banyak pemerintah daerah yang melakukan tinjauan termasuk izin sawit yang ada di kawasan hutan di Kalimantan dan beberapa tempat lainnya.
“Tinjauan perizinan juga berkaitan dengan memaksimalkan pendapatan negara dan menyelamatkan kekayaan negara. Dari kasus yang terjadi di Papua Barat yang kami amati, dari sekitar 650.000 ha izin sawit yang telah diberikan pemerintah, ternyata hanya sekitar 52.000 ha yang benar-benar telah ditanami pohon sawit. Dilaporkan juga bahwa potensi kerugian negara dari pajak sangat besar,” ujarnya.
Seperti diketahui, Pemerintah Kabupaten Sorong, Papua Barat telah mencabut izin lokasi, lingkungan dan izin usaha pada empat perkebunan sawit besar, yakni PT Inti Kebun Lestari (IKL), PT.Papua Lestari Abadi (PLA), PT. Sorong Agro Sawitindo (SAS) dan PT. Cipta Papua Plantation karena dianggap tidak melaksanakan kewajibannya dalam izin usaha perkebunan (IUP) yang mereka dapatkan. menggugat keputusan Pemkab Sorong dan mengajukan kasus ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura pada awal Agustus lalu.
Tiga dari empat perusahaan yang dicabut izinnya telah melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura pada awal Agustus lalu.
Terkait tata kelola produkivitas sawit masih belum maksimal, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad mengatakan pada 2017 KPK menemukan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) menghimpun dana perkebunan sawit dari hasil pungutan ekspor CPO (Crude Palm Oil) sebesar Rp11 triliun pada 2016.
Sebanyak 81,8% dari dana tersebut dialokasikan untuk subsidi biodiesel, yang porsi subsidi paling besar adalah pengusaha.
“Dana perkebunan sawit seharusnya dapat digunakan untuk program-program yang berkaitan langsung dengan pengembangan dan produktivitas perkebunan sawit. Misalnya peremajaan perkebunan sawit rakyat, pengembangan sarana dan prasarana perkebunan sawit, program peningkatan SDM di sektor perkebunan sawit. Saat ini, dana ini lebih banyak digunakan untuk program subsidi biodiesel dan justru tidak banyak menyentuh petani, melainkan porsinya lebih banyak ke pengusaha,” kata Nadia Hadad.
Nadia menegaskan moratorium ini perlu diperpanjang supaya persoalan produktivitas bisa lebih maksimal dan pembagian hasil bagian perimbangan antara pusat dan daerah bisa lebih jelas dan tertuntaskan.
“Pemerintah perlu membuat semacam formula baru untuk memperbaiki kesejahteraan petani sawit. Studi yang kami lakukan menemukan bahwa penggunaan dana perkebunan sawit belum maksimal menyentuh sasaran, sehingga tidak bisa memberikan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan petani sawit. Selain itu perlu ada perbaikan formula penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat
petani sehingga lebih adil untuk kesejahteraan petani dan tidak hanya menguntungkan pengusaha,” tutur Nadia.
Selain itu, munculnya peraturan pemerintah yang baru sebagai turunan dari Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) yang terkait dengan setor sawit yakni PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan juga PP Nomor 24 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan, menurut Teguh Surya, disinyalir tidak dapat menjamin masa depan tata kelola sawit yang lebih baik dan berkelanjutan di Indonesia
Menurutnya, dalam peraturan pemerintah turunan dari PP No 23 dan PP Nomor 24 UUCK tidak tegas mengatur bahwa sawit tidak boleh ekpansi di kawasan hutan. Sebaliknya, memperbolehkan konversi kawasan hutan yang dibuka untuk sawit.
Dalam pasal 29 UUCK di bagian perubahan Undang-undang Perkebunan disebutkan Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan lahan perkebunan paling lambat dua tahun setelah pemberian status hak atas tanah.
“Ini artinya, pemilik izin perkebunan harus mengusahakan seratus persen agar lahan sawit dapat ditanami dalam tempo paling lama dua tahun. Padahal seperti kita ketahui bersama, masih cukup luas keberadaan hutan alam di dalam izin sawit yang harus diselamatkan untuk mencegah bencana dan memenuhi komitmen iklim. Sedikitnya terdapat 1,4 juta hektar hutan alam yang diduga memiliki nilai konservasi tinggi di dalam izin sawit, belum lagi masalah izin dan konflik lahan dengan masyarakat yang belum selesai, lalu justru muncul peraturan baru seperti ini,” ungkap Teguh.
Teguh juga menilai untuk PP turunan UUCK merupakan peraturan yang melompat dari alur proses yang sudah dibuat sebelumnya dan justru mendorong percepatan pembukaan lahan sawit di kawasan hutan.
“Peraturan ini menjadi kontradiktif dari perbaikan tata kelola yang sedang dilakukan, sehingga kebijakan moratorium sawit itu tetap diperlukan untuk menyelesaikan tata kelola lahan,” tambahnya.
Teguh menyebutkan, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional pada 2030. Ambisi terbesar penurunan emisi adalah sebesar 17.2% hingga 24,5% pada 2030.
“Dengan adanya komitmen iklim tersebut, seharusnya memperkuat perpanjangan moratorium sawit. Ini diperlukan agar ambisi untuk mencapai net zero karbon di sektor kehutanan dan lahan pada tahun 2030 dan agenda ‘Indonesia FOLU 2030’ bisa dicapai,” kata Teguh Surya.
Teguh menambahkan dengan adanya moratorium, sawit Indonesia akan memiliki nilai tambah (produk sawit berkelanjutan) di pasar global dan ekspansi perkebunan kelapa sawit ke kawasan hutan bisa ditahan. Hal ini akan sangat membantu dalam menurunkan laju deforestasi secara signifikan karena ekspansi lahan sawit yang agresif merupakan sumber utama meningkatnya kontribusi emisi.
Pembuktian komitmen pemerintah Indonesia untuk melakukan mitigasi perubahan iklim akan membuka peluang strategis untuk perkembangan bisnis sawit berkelanjutan di dunia internasional. (*)