Kupang – Komisaris Utama Bank NTT Juvenile Jodjana dan Komisaris Independen, Dr. Frans Gana, M.Si, menjdi narasumber pada Seminar Nasional bertema ‘Keberlangsungan Bisnis di Era Revolusi Industri 5.0 dan Society 5.0’ di Universitas Nusa Cendana Kupang, Jumat (29/9/2023).
Keduanya menjadi narasumber pada Seminar Nasional bertema ‘Keberlangsungan Bisnis di Era Revolusi Industri 5.0 dan Society 5.0’.
Narasumber lainnya guru besar Ilmu Administrasi FIA-Universitas Indonesia, Prof Dr. Martani Husaeni, dan moderator Dr. Khalid K.M. Seminar dihadiri ratusan dosen dan mahasiswa lintas fakultas.
Dalam materinya yang seluruhnya mengenai temuan empiris terkait tema, membuka banyak hal mengenai inovasi digitalisasi di Bank NTT dan beberapa faktor determinan yang mempengaruhi keberlangsungan bisnis pada PT Timor Mitra Niaga di Desa Ghaura, Kabupaten Sumba Barat.
“Di Bank NTT tujuan kita yakni saat ini kita sedang berada di era perkembangan teknologi yang kian cepat, dan Bank NTT sudah kian bertransformasi serta sudah menggunakan dgitalisasi. Digitalisasi ini sudah dimanfaatkan oleh msyarakt kita baik itu di perguruan tinggi, koperasi, keagamaan, UMKM dan sebagainya.
Tujuannya adalah kita mau melihat secara teori, ternyata ketika kita bicara tentang digitalisasi yang coba kita kaitkan dengan revolusi industri 5.0 dan society 5.0 itu berada pada ranah inovasi dan ini sudah menyangkut strategi,”ujar dosen FISIP Undana ini.
Selanjutnya dikatakan, ada tiga jenis strategi menurut pandangan Scumpeter yang menyangkut kewirausahaan. Tentang bagaimana merubah sesuatu yang selama ini dianggap biasa menjadi bermanfaat dan berguna bagi pengembangan kewirausahaan. Kedua, terkait dengan teknologi dan teknologi sebagaimana yang kita manfaatkan sekarang ini. Dan ketiga, adalah terkait dengan strategi. Jadi bagaimana organisasi bisnis melakukan strategi termasuk di dalamnya adalah tentang inovasi sehingga pihaknya mengangkat penekitian inovasi digitalisasi beberapa tahun terakhir.
“Dalam penlitian di Bank NTT, ternyata inovasi digitalisasi ini tidak hanya berhenti di internal saja melainkan bergerak ke luar. Itu sebagai pandangan baru terhadap teori-teori yang katanya hanya berlaku untuk internal. Bahkan teori terbaru adalah ketika kita melakukan inovasi, kita sudah harus membangun kemitraan yang kemudian disebut pentahelix. Ternyata dengan digitalisasi yang dilakukan baik di operasional, penunjang, maupun di aspek pengawasan, kita bisa melakukan evisiensi baik itu waktu, biaya, apalagi kita sudah pakai e–office. Itu sebenarnya mengekalkan teori itu,” tegasnya sembari menyebut peraih Nobel, Oliver Williamson dalam teorinya mengatakan bahwa para pelaku ada kecenderungan melakukan curang.
“Nah dengan adanya inovasi digitalisasi, curang bisa diminimalisasi. Jika ada yang berkata mengapa pendapatan berkurang, itu karena faktor historis yang memang perlu ditatakelola sedemikian rupa untuk dibenahi kembali. Hasil inovsi digitalisasi 40 persen pendapatan bisa ditingkatkan,”tegas akademisi yang dalam proses menjadi guru besar itu.
Dikatakannya, kita bisa menekan biaya sedemikian rupa walaupun menurut pandangan kita pendapatan berkurang namun ini sudah pada aspek history dan butuh waktu untuk recovery. Itu yang ditemukan. Lalu ad ajuga temuan bahwa ternyata inovasi itu bukan segala-galanya.
“Kita coba jajaki di perusahaan swasta. Ada pola yang bisa digunakan untuk menjamin keberlangsungan perusahaan swasta dalam sebuah bisnis yang dikelola oleh Hengky Liyanto yang bergerak di bidang penanaman kakao seluas 815 hektar di Sumba Barat dan hasil kakao ini dieksport ke luar negeri, dan menjadi salah satu yang terbaik di dunia karena mendapat penghargaan di Jerman.
Seturut dengan penghargaan itu, secara teori bahwa kalau membangun satu usaha bisnis atau pabrik coklat, dia harus dekat dengan sumber bahan baku namun yang kami temukan, sumber bahan bakunya di Sumba, dan pabriknya di Kupang,”tuturnya sembari menambahkan “Ternyata ada kendala seperti suplai listrik dan sebagainya.”
Hal berikutnya adalah ada faktor determinan yang menjamin kelangsungan bisnis. Dan mereka melihat berdasarkan pengamatan, wawancara mendalam, diskusi terfokus bahwa paling tidak menurut penelitian mereka ada tiga faktor. Dia menyebut pertama, corporate social responsibility (CSR).
CSR secara teoritis, supaya perusahaan itu bisa berlangsung maka harus disisihkan pendapatannya sebagai tanggungjawab sosial. Dan ini sudah masuk dalam strategi perusahaan bahwa ketika untung baru menyisihkan penghasilannya untuk aksi sosial. Tapi ada pandangan berikut bahwa tidak perlu perusahaan mendapatkan untung lebih dahulu.
“Yang kami temukan adalah, bahwa ketika perusahaan ini dibangun oleh Hengky Lianto di Sumba, dia tidak perlu untung dahulu, namun sudah melakukan tanggungjawab sosial. Dia bangun gereja, sekolah, lalu dia juga menyediakan angkutan untuk anak sekolah yaang berada di lokasi. Dan saat ini penduduk yang bermukim di sekitar perkebunan, jumlahnya seribuan.
Perusahaan ini bisa bertahan hingga 26 tahun. Yang kedua, itu ada pola lagi yang kami lihat bahwa Pak Hengky sebagai pimpinan dia menjalankan pola paternalistik leadership. Jadi kepemimpinan kebapakan,”tegas Frans serius.
Ketika mereka mewawancarai beliau, dikatakan bahwa walau dalam beberapa tahun terakhir pendapatan perusahaan cenderung menurun, namun mereka yang bekerja di perusahaan sudah dianggapnya sebagai anak sendiri sehingga tidak mungkin di-PHK. Pekerjanya diberi keleluasaan utuk bertani di kebunnya, menanam aneka sayur dan palawija yang kemudian dijual untuk hidup.
“Ketika kami konfirmasi dengan karyawan, manajer disana, mereka katakan bahwa mereka menganggap Pak Hengky sebagai orang tua mereka sendiri sehingga ini terkonfirmasi. Kami bilang bahwa yang menentukan keberlangsungan perusahaan adalah dengan menggunakan pola kepemimpnan kebapakan. Paternalistik leadership,”ujar Frans sembari menambahkan bagi Hengky Lianto, perusahaan adalah pemberian Tuhan sehingga sudah sepatutnya dia memperlakukan karyawannya sebagai anak.
Apalagi, di setiap pohon disana, dengan mudahnya ditemukan ada ayat Alkitab yang ditempelkan pada batangnya. Setiap pukul 06.00 pagi, seluruh karyawan berkumpul untuk bersekutu dan membaca Alkitab.
“Mereka benar-benar melakukan praktek bekerja dan berdoa. Penelitian kami ini mix methode. Kami coba analisa statistik dan signifikan. Artinya, memperkuat teori bahwa kepemimpinan yang diterapkan adalah kepemimpinan transformatif namun yang kami temukan di lapangan adalah kepemimpinan paternalistik,”tegasnya.
Lagipula, ketika ditanya megenai big data, karyawan disana menyampaikan, kini mereka tidak butuh dokumen-dokumen tebal, melainkan hanya sebuah komputer dan kemudian seluruh data dilaporkan melalui internet. “Dan kini, seluruh karyawan disana gajinya sudah ditransfer melalui M-Banking Bank NTT. Ini satu kemajuan,”ungkap Frans Gana lagi.
Saat itu, Komisaris Utama, Juvenile Jodjana juga hdir dan memberi materi masih terkait thema. Yakni era digitalisasi. Dan diakui, digitaisasi sudah merubah segalanya, termasuk transaksi dalam bisnis. Dia adalah pelaku bisnis penerbangan dan juga perhotelan dan aneka bisnis lainnya usai menamatkan pendidikannya di Amerika.
Masih menurut Frans Gana. bisnis tidak hanya berheti di pola-pola manual melainkan sudah masuk ke tahapan digital. Di bank NTT khususnya ditemukan ada tiga model, yakni konvensional. Baik operasional, penunjang, pengawasan dan sebagainya. Sementara pola kedua adalah inovasi digitalisasi.
“Di Bank NTT dijalankan model hybrid yakni perpaduan antara digitalisasi dan konvensional karena tidak mungkin meninggalkan konvensional dengan pertimbanhan karyawan, dan secara teori, teknologi itu berwajah ganda. Bagaikan pisau bermata dua. Satu sisi mempercepat kita namun di satu sisi ada gan besar bagi karyawan, apalagi kekuatan kita sebenarnya tidak saja di teknologi melainkan secara teori kekuatan kita adalah sosial manajemen. Kita masih ingin bertemu, komunikasi, dan ini sama halnya yang saya temukan di TTS (Timor Tengah Selatan) tentang budaya gotong royong,”pungkasnya. (*)