Mataloko – Asap putih mengepul dari celah-celah tanah yang panas di kaki bukit Golewa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Aroma belerang tercium tajam, berpadu dengan hembusan angin sejuk dari perbukitan Flores.
Inilah Mataloko, sebuah kawasan geotermal yang kini menjadi saksi perubahan besar hadirnya proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Mataloko dari PLN, yang membawa harapan baru bagi warga setempat.
Proyek ini bukan sekadar upaya memanfaatkan sumber daya alam, tetapi juga wujud nyata dari visi menuju Indonesia yang mandiri energi, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Namun, di balik kepulan uap panas dan aroma belerang yang khas, kawasan geotermal Mataloko menyimpan pesona kehidupan yang tak terduga.
Meski suhu tanah di beberapa titik mencapai lebih dari 80 derajat celsius, sejumlah tanaman tetap mampu bertahan, bahkan tumbuh subur di antara batu-batu panas yang mengelilingi kawah.
Pemandangan kawah Mataloko kini tak hanya menjadi simbol potensi energi panas bumi, tetapi juga bukti bagaimana alam menemukan keseimbangannya sendiri. Di tengah kepulan uap panas dan aroma belerang yang pekat, kehidupan tetap berdenyut, membuktikan bahwa bahkan di tempat paling ekstrem sekalipun, alam selalu mencari cara untuk hidup.
Di kaki bukit Mataloko itu, terbentang sebidang tanah seluas lima hektare yang kini menjadi perhatian banyak pihak.
Lahan itu bukan sembarang tanah. Ia menjadi bagian penting dari rencana besar PLN untuk menghidupkan kembali proyek PLTP Mataloko yang sempat tertunda selama beberapa tahun.
Pembelian lahan tersebut menandai babak baru dalam perjalanan panjang pemanfaatan potensi panas bumi di Mataloko, salah satu titik panas (geothermal) terbesar di Pulau Flores. “Kita telah membeli lahan seluas lima hektare di kawasan yang sebelumnya dikhawatirkan masyarakat. Mereka mengira ini ancaman alam, padahal justru sebaliknya, kami berencana membangun geopark di sini untuk mendongkrak pariwisata dan ekonomi masyarakat,” ujar Bobby Sitorus, Manager Perizinan, Pertanahan & Komunikasi UIP Nusra, Jumat (24/10/2025).
Pembelian lahan oleh PLN membawa angin segar bagi masyarakat sekitar. Warga yang sebelumnya menjadi pemilik lahan menerima kompensasi secara resmi dan transparan, dengan proses yang melibatkan pemerintah desa serta perwakilan masyarakat.
Banyak warga juga berharap pembangunan ini membuka lapangan kerja baru bagi tenaga lokal serta menghidupkan kembali aktivitas ekonomi di desa.
Salah satunya adalah Marselinus Bone, warga Desa Wogo. Ia dikenal sebagai petani yang tetap menanam di area sekitar kawah panas, wilayah yang dinilai berbahaya oleh sebagian besar warga karena adanya gas, tanah longsor, dan suhu tinggi.
“Semburan lumpur panas itu hanya terjadi di musim hujan. Uap berbau belerang juga tidak terlalu berpengaruh. Tanaman tetap tumbuh, air juga tidak pernah berkurang,” ujarnya sambil menunjuk kebun sawi miliknya.
“Sekarang saya tanam sawi, nanti mau tanam cabai. Airnya mengalir dari sungai di atas, jadi pengairan tetap lancar. Soal kesehatan juga sejauh ini aman-aman saja bagi kami yang beraktivitas di sekitar kawah,” lanjutnya.
Bagi warga Mataloko, keberadaan proyek panas bumi ini membawa cerita beragam. Dulu mereka hanya mengenal tanah yang berasap dan panas, namun seiring waktu, PLTP Mataloko menghadirkan perubahan nyata.
Jalan desa diperbaiki, akses transportasi membaik, dan peluang ekonomi baru mulai tumbuh. Beberapa warga bekerja sebagai buruh proyek, sementara lainnya membuka warung atau menyediakan penginapan bagi pekerja dari luar daerah.
Emerensiana Wawo, warga yang tinggal tepat di samping kantor PLTP Mataloko, mengaku seluruh masyarakat di desanya mendukung penuh pembangunan ini.
“Tidak ada yang tidak setuju, semuanya setuju — seratus persen,” tegasnya. “Saya sudah enam puluh tahun tinggal di sini, sejak lahir. Kami sudah terbiasa hidup berdampingan dengan kondisi panas bumi ini. Dengan kehadiran PLN lewat PLTP ini, ekonomi masyarakat meningkat. Hasil tani kami laku dibeli pendatang, dan PLN juga banyak membantu lewat program CSR.
Kini, PLTP Mataloko menjadi simbol harapan sekaligus tantangan. Harapan akan listrik yang stabil dan pembangunan berkelanjutan, serta tantangan untuk menjaga keseimbangan alam dan kenyamanan warga. Di antara ladang jagung dan rerumputan hijau, warga Mataloko terus belajar hidup berdampingan dengan ‘tanah panas’ anugerah alam yang kini menjadi bagian dari identitas mereka. (*/paul)














