
Kupang—Lintasntt.com: Buruh migran asal Nusa Tenggara Timur (NTT) dijual ternyata diperdagangan oleh calo mulai dari tingkat desa hingga tiba di tempat tujuan di Malaysia.
Mereka dijual kepada perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang biasanya berkedudukan di Pulau Jawa sebelum dijual lagi ke perusahaan pengerah jasa tenaga kerja di Malaysia dengan harga bervariasi mulai dari terendah Rp500 ribu hingga Rp1 juta per orang.
Cerita ini disampaikan Mesak Taklala, 53, mantan buruh migran asal Desa Noelbaki, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang kepada wartawan di Kupang, Jumat (23/5).
Mesak bekerja sebagai buruh migran sejak 1983-2006 di Malaysia, mengaku mengetahui secara deteil praktek perdagangan buruh migran tersebut. “Perekrutan buruh migran dilakukan di desa-desa oleh calokemudian dijual ke perusahaan (PJTKI) di Jawa. Tugas calo sampai di situ saja sehingga calo tidak akan tahu lokasi penempatan buruh migran yang direkrutnya,” katanya.
Di Jawa menurut Dia, buruh migran ditempatkan di lokasi tertentu menunggu permintaan tenaga kerja dari perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Malaysia. “Setelah sepakat, buruh migran ini dijual lagi ke perusahaan Malaysia,” ujarnya.
Tiba di Malaysia, buruh migran akan menempati lokasi pekerjaan berbeda-beda mulai dari menjadi buruh di perkebunan, pabrik, atau pekerja rumah tangga. Menurut Dia, tingginya harga buruh migran menarik minat masyarakat berlomba-lomba menjadi calo pengerah tenaga kerja.
Biasanya kata Dia, buruh migran hanya bisa bekerja selama dua tahun. Pada enam bulan sampai satu tahun pertama, gaji buruh migran akan dipotong sebesar 50 persen oleh perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Malaysia yang membeli mereka. “Potongn gaji buruh ini untuk menutup biaya yang dikeluarkan perusahaan mencakup biaya paspor, akomodasi hingga tiket pesawat,” kata Dia.
Sehingga para buruh migran hanya bisa menikmati hasil kerja mereka hanya selama satu tahun. Karena perekrutan yang dilakukan ilegal tersebut, buruh migran yang rata-rata menamatkan pendidikan sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama, tidak memiliki keterampilan sebagai pekerja. “Di Malaysia jika majikan minta dibuatkan kopi, itu artinya diminta membuat kopi campur susu,” ujarnya. (gba/media indonesia)