Belum ke Swiss jika Tidak ke Interlaken

  • Whatsapp
tempatwisataswiss.blogspot.com
tempatwisataswiss.blogspot.com

Lebih dari seratus tahun lalu, para pemuka kota ini menyiapkan Interlaken sebagai kota wisata.

DARI ketinggian Harder Kulm (1.322 meter di atas permukaan laut), jelas terlihat bahwa kota itu tercipta akibat aliran gletser pada masa lalu. Interlaken, kota itu, terhampar di antara dua lembah kaki-kaki Gunung Eiger (3.970 meter dpl) dan Mönch (3.970 meter dpl).

Di antara dua puncak gunung, yang termasuk rangkaian pengunungan Alpen, itu tampak pula top of Europe Jungfaujoch (3.454 meter dpl) yang terkenal.

”Jika Anda belum pernah melihat Interlaken, Anda belum pernah ke Swiss,” kata komponis kelahiran Jerman, Felix Mendelssohn. Komponis pencipta karya hebat ”Midsummer Night’s Dream” pada usia 18 tahun itu sekitar tahun 1800-an sudah menyatakan keterpesonaannya akan keindahan kota kecil Interlaken, Bernese Oberland, Swiss.

Kini kecantikan Interlaken tak juga pupus. Dua danau, Thun dan Brienz, masih akrab mengapitnya. Warnanya membiru dibercaki warna putih yang memantul dari gunung-gunung bersalju yang mengitarinya. Itulah sebabnya kota ramah dengan ketinggian 570 meter dpl itu dinamakan Interlaken—dari bahasa Latin inter lacus—yang artinya di antara dua danau. Sungai Aare yang menghubungkan dua danau itu membelah kota, menambah syahdunya Interlaken. Bangunan-bangunan rumah, pertokoan, hotel yang tertata rapi, ataupun kapal yang mengitari Danau Thun ibarat lukisan pemandangan.

”Lebih dari seratus tahun lalu, para pemuka kota ini menyiapkan Interlaken sebagai kota wisata,” kata Kurt Aeberhard, pemandu kami yang berusia 72 tahun. Jangan salah, Kurt adalah pensiunan Swiss Army yang terkenal itu. Dia, antara lain, pernah bertugas di sejumlah negara Asia, beberapa kali mencumbui puncak-puncak dunia. Mungkin karena itu pula dalam umur hampir tiga perempat abad dia kalem-kalem saja saat menanjaki bukit di Harder Kulm atau Beatus. Suaranya nyaring berbaur dengan deru napas kami. Selepas menaiki kereta kabel yang merayapi tebing curam, kami memang harus berjalan lumayan menanjak ke sebuah bangunan tua di puncak Harder Kulm itu, yang kini menjadi sebuah restoran kecil.

Di atas Harder Klum—yang mulai dibangun 100-an tahun lalu—kami menikmati sekadar panganan. Orang boleh memilih sekadar cappuccino hangat, beragam anggur, atau berbagai rupa es krim. Tidak melulu di dalam restoran, pengunjung juga bisa duduk di beranda atau halaman rumah tua itu sambil menikmati pemandangan kota Interlaken.

Ramah

Interlaken memang sudah siap betul menjadi sebuah kota tujuan wisata. Melihat potensi kota itu, sekitar 100 tahun lalu para pendahulu Interlaken secara visioner sudah menyiapkan kota tersebut sebagai kota wisata. Bahkan, diceritakan, banyak orang kaya pada masanya menyumbangkan berbagai fasilitas wisata di tempat-tempat tujuan wisata seperti yang bisa dinikmati saat ini.

Keramahan penduduknya menyambut hangat setiap tamu yang datang. Mereka akan dengan senang hati melayani setiap obrolan kita. Mungkin mereka menyadari juga, keramahtamahan adalah modal utama untuk menjadikan kotanya sebagai kota utama pariwisata dunia.

Bukan melulu menyajikan pemandangan alam, puncak-puncak gunung bersalju, berski di musim salju, ber-hiking atau bersepeda gunung di musim panas (summer), atau menikmati kapal pesiar mengelilingi Danau Thun. Orang juga bisa ”berziarah” ke Gua Beatus—sebuah gua sepanjang 1 kilometeran dengan pemandangan stalaktit dan stalagmit yang memukau, dipercaya sempat ditinggali St Beatus, orang suci.

Tentu saja bagi yang senang shopping, sebuah boulevard sepanjang 700 meteran yang mereka sebut Höheweg membelah kota. Di jalanan yang bersih dan bertabur tanaman berbunga tulip segar dan bunga lainnya itu berjajar butik-butik eksklusif menawarkan berbagai merek jam terkenal buatan Swiss, toko permata hingga hotel-hotel berkelas. Bagi yang senang berjudi disediakan pula sebuah arena kasino di Cassino Kursaal.

Tentu saja, juga jajaran toko souvenir kelas turis kebanyakan yang menawarkan berbagai barang, dari cokelat hingga gantungan kunci atau pisau Swiss Army yang terkenal itu. Di antara itu, terbentang sebuah lapangan tempat orang mendaratkan paralayang bagi turis yang ingin menikmati sedikit petualangan dengan menikmati Interlaken dari udara.

Tidak seperti kota-kota lainnya di Swiss—dan Eropa pada umumnya—Interlaken disebut-sebut sebagai kota yang juga ramah anggaran bagi wisatawan kelas backpacker. Kota ini menawarkan penginapan dengan biaya murah. Namun, tentu saja hotel yang memerlukan rogohan kocek lebih dalam pun tersedia, seperti hotel Victoria Jungfrau yang disebut-sebut sebagai hotel terbaik di Eropa.

Meskipun kota kecil (hanya 4,5 km persegi dengan jumlah penduduk 6.000 orang), Interlaken mempunyai dua stasiun kereta. Stasiun Interlaken Timur dan Interlaken Barat memungkinkan Interlaken diakses dari mana pun kota-kota Eropa. Jadwal kedatangan dan keberangkatan kereta api yang sangat tepat membuat orang dengan mudah membuat agenda perjalanan. ”Turis yang berlibur ke sini setiap tahun terus meningkat,” kata CEO Kepariwisataan Interlaken Stefan Otz pada sebuah malam saat menyambut kami dengan sebuah makan malam di Restoran Braisee, Hotel Victoria Jungfrau. Rekannya, CEO Perkeretaapian Jungfrau Urs Kessler, juga optimistis jumlah wisatawan, termasuk dari Indonesia, ke Interlaken terus meningkat.

Harder Kulm/Sumber: jungfrau.ch
Harder Kulm/Sumber: jungfrau.ch

Jumlah wisatawan pada tahun lalu mencapai 700.000-an orang. Angka meningkat sekitar 4 persen dibandingkan dengan jumlah turis tahun sebelumnya dan dipercaya akan terus meningkat pada tahun selanjutnya. Hal menarik selain turis-turis dari Amerika Serikat atau negara-negara Eropa, turis dari Asia seperti China, Korea, dan Jepang cenderung meningkat. Bahkan, turis-turis India terlibat berombongan meramaikan suasana.

”Mereka biasanya menyewa apartemen bersama untuk menghemat biaya,” kata Otz. Mulai ”banjir”-nya turis India itu diperkirakan karena sejumlah film India mengambil adegan dengan gambar pemandangan indah Interlaken, Jungfrau, dan sekitarnya.

”Makanya, kami juga percaya jumlah turis Indonesia yang akan datang ke sini akan meningkat,” ujar Anton Knech, General Manager Kuoni Indonesia. Tingginya potensi itu membuat biro perjalanan tertua di Swiss itu—didirikan tahun 1908 oleh Alfred Kuoni—secara khusus membuka kantor di Jakarta.

Stefan Otz dan Urs Kessler mengamini Knech. Mereka tidak main-main dan sepertinya sudah menyiapkan seadanya. Kami sempat diajak menonton kesenian rakyat (folklore) Swiss dengan sajian alphorn (alat musik semacam terompet sepanjang 2,7 meter) dan yodeling (nyanyian dengan suara falsetto khas pegunungan Alpen, Swiss).

Si pembawa acara menanyakan dari mana saja negara asal para tamunya. Mereka pun menyambut selamat datang dengan bahasa masing-masing negara tamunya. Surprise juga, ternyata di antara buku contekannya ada sebaris kalimat ucapan selamat datang yang cukup panjang dalam bahasa Indonesia.

Mungkin karena peluang turis dari Indonesia yang cukup besar pula yang menyebabkan mereka memasang ucapan ”Semoga Beruntung” di sebuah baliho Cassino Kursaal Interlaken….(sumber: kompas)

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.