Oleh:
Laurensius Bagus
(Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil, Universitas Cokroaminoto, Yogyakarta)
Nusa Tenggara Timur (NTT) selama ini dikenal dengan pemandangan indah dan keramahan warganya. Namun, di balik itu, provinsi ini menyimpan kenyataan pahit yang jarang menjadi sorotan: krisis air bersih yang berkepanjangan. Masalah ini bukan hanya tentang kekeringan semata, tetapi tentang hak dasar manusia untuk hidup sehat dan bermartabat.
Air yang Kering, Gizi yang Terancam
Ketersediaan air bersih di NTT sangat bergantung pada musim. Ketika kemarau tiba, sumur-sumur di banyak daerah, dari Manggarai Barat, Manggarai Timur, hingga Sumba Timur dan Sabu Raijua — mulai mengering. Warga harus berjalan berkilo-kilometer untuk mendapatkan air yang sering kali tidak layak konsumsi. Kondisi ini berdampak langsung pada kesehatan, kebersihan, dan gizi masyarakat, terutama anak-anak.
Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2023, angka stunting di NTT mencapai 37,9%, tertinggi kedua secara nasional. Stunting menggambarkan bahwa ribuan anak di NTT tumbuh dengan tubuh yang pendek dan kemampuan belajar yang terhambat, bukan karena kemalasan orang tua, melainkan karena lingkungan yang tidak sehat dan kurang gizi akibat air kotor dan sanitasi buruk.
Masalah gizi ini diperburuk oleh kemiskinan struktural. Data Badan Pusat Statistik (BPS) NTT, Maret 2024, menunjukkan tingkat kemiskinan mencapai 19,48%, tertinggi di kawasan Indonesia Timur. Kemiskinan ini membuat keluarga sulit membeli air bersih, membangun jamban sehat, atau menyediakan makanan bergizi bagi anak-anak mereka.
Ketimpangan dan Kelemahan Infrastruktur
Akses terhadap air dan sanitasi di NTT sangat tidak merata. Di beberapa kabupaten seperti Manggarai Tengah dan Flores Timur, ada jaringan pipa air bersih, tetapi sering kali tidak berfungsi karena rusak atau tidak terpelihara. Sementara di daerah seperti Sumba Barat Daya dan Lembata, warga masih mengandalkan air hujan atau membeli air jerigen dengan harga tinggi.
Program pemerintah seperti Pamsimas (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) memang sudah berjalan, tetapi efektivitasnya sering terhambat oleh perencanaan yang tidak sesuai kebutuhan lokal. Beberapa sumur bor di Sikka dan Ende, misalnya, kini tidak lagi berfungsi karena tidak ada pelatihan teknis bagi warga untuk mengelola dan merawatnya. Akibatnya, proyek besar yang menelan anggaran besar berhenti menjadi monumen diam di tengah desa.
Air Sebagai Hak, Bukan Bantuan
Selama ini, air sering diperlakukan sebagai komoditas proyek atau bantuan kemanusiaan, bukan sebagai hak dasar warga. Pendekatan ini harus diubah. Air bersih adalah hak setiap warga negara, sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Pendekatan baru diperlukan: bukan sekadar membangun fasilitas, tetapi menjamin keberlanjutan akses air. Pemerintah daerah harus melibatkan masyarakat sejak awal — mulai dari perencanaan, pengawasan, hingga pengelolaan. Di beberapa desa di Manggarai Timur dan Alor, model pengelolaan air berbasis komunitas terbukti lebih bertahan lama karena warga merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap sumber air mereka.
Selain itu, krisis air tidak bisa dipisahkan dari kebijakan gizi dan kesehatan. Sayangnya, di banyak daerah, program air bersih, gizi, dan kesehatan masih berjalan terpisah. Padahal, masalahnya saling terkait. Anak tidak akan sehat jika minum air kotor, meski diberi makanan bergizi.
Langkah Menuju Keadilan Hidup Sehat
Untuk keluar dari krisis yang berkepanjangan ini, NTT memerlukan pendekatan pembangunan yang berpihak pada masyarakat dan konteks lokal. Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan antara lain:
Pertama Membangun infrastruktur air bersih berbasis konteks lokal.
Teknologi sederhana seperti penampungan air hujan, pompa tenaga surya, dan pengelolaan sumber mata air tradisional perlu dikembangkan sesuai kondisi geologis setiap kabupaten.
Kedua Memperkuat kolaborasi lintas sektor.
Dinas kesehatan, pekerjaan umum, dan pendidikan harus bekerja dalam satu arah kebijakan terpadu yang menempatkan air, gizi, dan kesehatan sebagai satu ekosistem kebijakan.
Ketiga Meningkatkan literasi sanitasi dan gizi.
Edukasi kepada masyarakat terutama melalui sekolah, gereja, dan kelompok perempuan — menjadi kunci perubahan perilaku terhadap kebersihan dan pola makan sehat.
Keempat Transparansi dan pengawasan publik.
Informasi mengenai anggaran dan proyek air bersih harus dibuka ke publik agar pengawasan masyarakat bisa berjalan. Transparansi adalah bentuk keadilan baru dalam pembangunan.
Penutup: Air Sebagai Ukuran Keadilan
Air bersih, gizi cukup, dan sanitasi layak bukanlah kemewahan. Ia adalah ukuran keadilan sosial dan kemanusiaan.
Selama masih ada warga di NTT yang harus berjalan jauh hanya untuk seember air, maka pembangunan belum selesai.
Krisis air di NTT bukan hanya masalah keringnya tanah, tetapi juga keringnya perhatian kebijakan terhadap hak-hak dasar manusia. Ketika air bersih tersedia di setiap rumah, anak-anak tidak lagi stunting, dan ibu tidak lagi memikul jerigen di bawah terik matahari — saat itulah NTT benar-benar bisa disebut sejahtera. (*)














