Kupang – Tidak kurang 600 petani rumput laut di Desa Daiama dan Desa Tenalai, Kecamatan Landu Leko, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur kecewa lantaran ganti rugi pencemaran Laut Timor yang tidak adil.
Saat ganti rugi oleh Kantor Pengacara Maurice Blackburn di gereja Ebenhaezer Soao, Desa Daiama tanggal 15 Mei 2024, tidak sesuai harapan. Pasalnya, rumput laut milik petani yang rusak akibat meledaknya ladang minyak Montara pada 2019 hanya hargai Rp11.300 per kilogram.
Petani rumput laut ini telah memberikan bukti tumpahan minyak dari ladang minyak Montara yang mencemari rumput laut mereka di Kawasan Mulut Seribu malah.
Kecewa dengan perlakuan tidak adil oleh Maurice Blackburn, petani rumput laut di dua desa laut di dua desa ini mengirim surat kepada Menko Marves RI, Luhut Binsar Pandjaitan, The Task Force Montara, Penjabat Gubernur NTT dan Ketua YPTB Ferdi Tanoni yang juga diterima wartawan.
Dalam surat pengeluhan tersebut yang ditandatangani Kepala Desa Daiama, Heber Ferroh ini memohon bantuan Menko Marves RI, Luhut Binsar Pandjaitan, The Task Force Montara, Penjabat Gubernur NTT dan Ketua YPTB Ferdi Tanoni membantu mereka.
“Padahal, kami adalah petani rumput laut di Desa Daiama yang paling pertama melaporkan kerusakan rumput laut Ketika terkena pencemaran minyak Montara. Laporan tersebut disampaikan pada Ketua YPTB, Ferdi Tanoni pada akhir September 2009 silam,” tulisnya.
Kemudian pada 23 Desember 2009 atas permintaan Ketua YPTB, Ferdi Tanoni, datanglah dua wartawan televisi nasional ke Desa Daiama. Keduanya meliput kerusakan rumput laut di Kawasan Mulut Seribu akibat terkena tumpahan minyak Montara.
Kedua wartawan ini pun ikut mengambil sample air laut di Kawasan Mulut Seribu untuk dibawa dan diperiksa di Laboratorium Kimia Universitas Indonesia. Dan hasil laboratorium Kimia Universitas Indonesia menyebutkan bahwa air laut tersebut sudah tercemar dan dalam taraf membahayakan.
Setelah kembali dari liputan di lokasi Kawasan Mulut Seibu, kedua wartawan televisi nasional masih bersama-sama para petani rumput laut Desa Daiama dan Desa Tenalai bersama-sama melewatkan malam Natal 24 Desember 2009.
Kemudian pada tanggal 10 Januari 2010, datang-lah seorang pengacara dari Perth Australia Barat, bernama Philps Vincent bersama-sama beberapa petani rumput laut ke lokasi rumput laut di Kawasan mulut Seribu.
“Sesuai hasil pengamatan (Philps Vincent) ternyata rumput laut di Desa Daiama dan Tenalai mati terkena tumpahan minyak Montara karena lumpur-lumpur minyak mentah masih melekat pada tali dan rumput laut,” katanya.
Setelah itu, atas permintaan (Philps Vincent) diminta agar bisa bertemu dengan petani rumput laut di Dusun Soao Desa Daiama. Di mana dalam pertemuan tersebut, (Philps Vincent) arankan agar kami membuat laporan tertulis untuk nantinya serahkan kepada Ketua Penyelidik Tumpahan Minyak Montara, Senator Rachel di Perth-Australia Barat.
“Surat itu kami buat, kemudian kirim ke Senator Rachel di mana setelah menerimas urat tersebut, yang bersangkutan menyarankan agar dicari LSM yang kuat dan bisa bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia. Karena pemerintah yang punya masyarakat khususnya petani rumput laut. Dengan adanya informasi ini kami sampaikan kepada Ketua YPTB, Ferdi Tanoni yang menyanggupinya,” tulisnya.
Sehingga perkara mulai berjalan dari tahun 2016 sehingga gugatan class action ini bisa dimenangkan oleh petani umput laut di Kabupaten Rote Ndao dan Kabupaten Kupang.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka bisa dikatakan Desa Daiama adalah desa penggugat sementara desa-desa lain dari 81 desa penggugat hanya duduk diam. Sedangkan petani rumput laut Desa Daiama dan Desa Tenalai serta Desa Pukuafu saat kejadian kasus Montara betul-betul terpukul karena kehilangan mata pencaharian sampai saat ini.
Yang paling disesalkan tulis mereka dalam surat yang juga ditembuskan kepada Kapolda NTT adalah harga rumput laut hanya dihargai senilai Rp 11.300/kg. Sementara rumput aut diesa lain dihargai Rp 14.500/kg-Rp 37.400/kg.
“Tentu kami sangat kecewa. Adapun metode yang digunakan Maurice Blackburn yaitu perhitungan harga per desa kami tolak. Yang kami inginkan adalah mengikuti harga jual rumput laut pada tahun 2008 yaitu Rp 22.000/kg,” jelasnya.
Mereka mengaku merupakan pihak yang berjuang (berjasa) dalam memberikan bukti sehingga gugatan class action isa dimenangkan namun penetapan harga rumput laut tidak meminta persetujuan mereka.Apalagi gugatan petani rumput laut di 81 desa dari dua kabupaten yang berjumlah 15.483 orang tergabung dalam satu gugatan massal (class action).
“Tidak ada satu desa pun atau beberapa desa dalam 81 desa yang menggugat sendiri-sendiri sehingga Harga umput laut harus berbeda-beda. Belum pernah terjadi selama ini bahwa harga rumput laut di Kabupaten Kupang dan Rote Ndao dengan nilai jual Rp 26.000/kg-Rp 37.000/kg,” tulisnya.
“Kami menangis mengapa di saat hasil negosiasi antara PTTEP dengan Maurice Blackburn atas nilai ganti rugi sebesar $AUS 192,5 juta maka mereka harus meminta persetujuan petani rumput dri dari 81 desa,” sambungnya.
Namun di saat penentuan harga rumput laut, (Maurice Blackburn) tidak lagi meminta persetujuan petani rumput laut. Maurice Blackburn malah diam-diam mereka membagi sendiri engan metode yang betul-betul merugikan petani rumput laut di Desa Diama dan Desa Tenalai.
Semestinya tulis mereka, hak petani yang 53 persen dari AU$ 192.5 juta atau setara Rp 1,7 triliun dibagikan kepada jumlah seluruh hasil produksi dari 15.483 orang petani rumput laut sehingga akan menghasilkan harga per kilogram.
Barulah kemudian dikali dengan hasil produksi tiap-tiap petani rumput laut. Artinya, harganya merata untuk semua petani rumpat laut yang berjumlah 15.483 orang.
Namun mereka mengaku hanyalah masyarakat petani kecil yang tidak berdaya. Karena itulah, kami mohon dengan hormat agar bapak Menko Marves RI, Luhut Binsar Pandjaitan, Tim The Task Force, Penjabat Gubernur NTT dan Ketua YPTB mau membantu memperjuangkan hak kami yang hilang,” harap mereka.
Ketua YPTB, Ferdi Tanoni mengaku sudah menerima surat keluhan petani rumput laut Desa Daiama dan Tenalai tersebut. YPTB kata Ferdi Tanoni sudah meneruskan surat tersebut kepada Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan, Purbaya Yudhi Sadewa, The Task Force Montara yang juga adalah Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Surat itu juga sudah diteruskan kepada Penjabat Gubernur NTT dan Kapolda NTT serta Penjabat Bupati Rote Ndao.
“Secara khusus, saya (YPTB) sudah bersurat kepada Menko Marves RI, Luhut Binsar Pandjaitan dan The Task Force Montara, meminta supaya segera digelar rapat dalam waktu 5 x 24 jam. Sudah tersebut sudah dikirim pada Senin, 27 Mei 2024 kemarin,” katanya.
Ferdi Tanoni menilai, pengeluhan yang dilaporkan oleh petani rumput laut di Desa Daiama an Desa Tenalai merupakan gambaran kekecewaan seluruh petani rumput laut di Kabupaten Kupang dan Rote Ndao. “Namun mereka tidak bisa berbuat banyak dan tetap menerima uang ganti rugi yang dibagikan tersebut,” kata Ferdi Tanoni.
Demi memperjuangkan hak petani rumput laut ini, Ferdi tanoni menambahkan bahwa sudah meneruskan kepada Dinas Perikanan dan Kelautan NTT. Dan Penjabat Gubernur NTT, Ayodhia Kalake sudah menugaskan Dinas Kelautan dan Perikanan NTT untuk menyelesaikan masalah tersebut namun kenyataannya belum ditindaklanjuti. (*)