75% Orangutan di Kaltim Berada di Luar Kawasan Konservasi

  • Whatsapp
Orangutan bersama anaknya di Tanjung Puting National Park di Borneo, Foto: The Nature Conservancy (Katie Hawk).

Membangun pengelolaan habitat bersama para pihak melalui penggunaan Best Management Practices dalam skala bentang alam penting dalam menyelamatkan orangutan Kalimantan

Jakarta–Awal Juli lalu IUCN Red List memasukkan tiga satwa baru ke dalam kategori Critically Endangered atau sangat terancam punah. Salah satunya adalah Pongo pygmaeus atau yang lebih dikenal sebagai orangutan Kalimantan.

Penurunan populasi orangutan Kalimantan terutama akibat alih fungsi hutan sebagai habitat utama mereka oleh manusia.

“Pengumuman IUCN Red List ini sejalan dengan penelitian orangutan yang kami lakukan. Saat ini lebih dari 75% populasi orangutan di Kalimantan Timur berada di kawasan untuk kegiatan ekonomi produktif seperti Ijin Usaha Pengelolaan Hutan Alam, perkebunan sawit, pertambangan, dan perladangan masyarakat. Fakta ini menunjukkan bahwa potensi konflik antara orangutan-manusia sangat tinggi,” ungkap Country Director The Nature Conservancy (TNC) Program Indonesia, Rizal Algamar.

Ia kemudian menambahkan, “Pendekatan perlindungan orangutan khususnya di Kalimantan membutuhkan solusi yang komprehensif, tidak hanya mengandalkan perluasan kawasan konservasi.”

Populasi orangutan (sub-spesies Pongo pygmaeus morio) di Provinsi Kalimantan Timur diperkirakan hanya tinggal sekitar 4,800 individu.

Dari jumlah tersebut hanya sekitar 25% berada atau hidup di dalam kawasan konservasi (Taman Nasional Kutai dan Cagar Alam Muara Kaman) dan hutan lindung (diantaranya hutan lindung Wehea di Kabupaten Kutai Timur dan hutan lindung Sungai Lesan di Kabupaten Berau). Sebagian besar (sekitar 75%) justru hidup dan tinggal di dalam kawasan hutan produksi maupun di luar kawasan hutan seperti di perkebunan sawit.

TNC tengah mengembangkan pengelolaan habitat orangutan skala bentang alam Wehea-Kelay. Program ini adalah buah kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Kutai Timur/BP Wehea, Pemerintah Kabupaten Berau, dunia usaha (pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, Hutan Tanaman Industri, dan perusahaan sawit), Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Masyarakat Adat Wehea.

Saat ini para pihak telah bersepakat untuk membentuk forum pengelolaan kawasan ekosistem esensial (KEE) koridor orangutan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 660.1/K.214/2016 tentang Pembentukan Forum Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial Koridor Orangutan Bentang Alam Wehea-Kelay di Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Berau-Provinsi Kalimantan Timur.

“Kerjasama pengelolaan KEE di Bentang Alam Wehea-Kelay dilakukan untuk mendorong praktik-praktik terbaik dalam pengelolaan sumberdaya alam yangberkelanjutan melalui kemitraan pemerintah-swasta-masyarakat,” ungkap direktur program Teresterial TNC Indonesia Herlina Hartanto. “Kami berharap inisiatif ini akan mendorong tumbuhnya kemitraan multi-pihak untuk melindungi habitat satwa liar di luar kawasan konservasi di banyak tempat lain di Indonesia,” tambah Herlina.

Inisiasi pengelolaan KEE koridor orangutan di bentang alam Wehea-Kelay direncanakan mencakup kawasan seluas 532.143 hektare. Sampai saat ini, para pihak yang telah sepakat bergabung ke dalam forum pengelolaan habitat orangutan ini telah mencapai 308.882 hektare.

“Dipilihnya bentang alam Wehea-Kelay menjadi KEE bukan hanya atas pertimbangan pentingnya kawasan tersebut sebagai habitat bagi orangutan di Kalimantan Timur, tetapi juga karena tingginya keanekaragaman hayati dan kandungan stok karbon yang terkandung di dalamnya. Kawasan ini juga berfungsi sebagai penyedia jasa lingkungan bagi masyarakat, sebagai sumber air, makanan, maupun sumber kehidupan lainnya,” ungkap Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak.

Keberadaan orangutan yang sebagian besar hidup dan tinggal di luar kawasan konservasi dan kawasan lindung sebenarnya secara hukum masih terlindungi sesuai UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Namun jika tidak ada upaya yang komprehensif dan terintegrasi dengan dukungan semua pihak, dipastikan keberadaan orangutan -terutama di kawasan hutan produksi dan perkebunan sawit berpotensi menimbulkan konflik yang dapat mengancam keberlangsungan hidup jangka panjang spesies yang sangat terancam punah ini.

Menyikapi perubahan status orangutan di IUCN Red List ini perlu ada dukungan kebijakan untuk menghindarkan orangutan dari kepunahan. Salah satu dukungan kebijakan yang diperlukan adalah insentif bagi dunia usaha yang turut andil dalam upaya konservasi orangutan.

Hal ini penting mengingat sebagian besar orangutan justru tinggal di kawasan hutan produksi bahkan di luar kawasan hutan. Selain itu juga diperlukan dukungan kebijakan untuk memasukkan habitat orangutan sebagai pertimbangan dalam penetapan tata ruang dan perijinan kegiatan ekonomis produktif oleh pemerintah. (Rilis TNC Indonesia)

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.