Tangan Jokowi dan Merah Putih Berlumur Darah, Tulis Media Australia

  • Whatsapp
 Foto ilustrasi berita utama media Australia, The Courier Mail, yang menampilkan tangan Presiden RI Jokowi berlumur darah, Rabu (29/4/2015). Foto: The Courier Mail

Foto ilustrasi berita utama media Australia, The Courier Mail, yang menampilkan tangan Presiden RI Jokowi berlumur darah, Rabu (29/4/2015). Foto: The Courier Mail

Australia- Media massa menyerang Presiden Joko Widodo dan Indonesia. Berselang beberapa jam setelah pelaksanaan eksekusi mati terhadap delapan dari sembilan terpidana mati di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Rabu (29/4/2015), media negeri Kanguru itu menulis berita dan memuat foto ilustrasi tangan Presiden Jokowi berdarah-darah.

Bahkan bendera merah putih pun digambarkan bersimbah darah. Surat kabar berpengaruh di Australia, The Courier Mail, membuat judul serta foto ilustrasi halaman utama yang terbilang kontroversial, pada edisi Rabu (29/4/2015).

Koran yang berbasis di Brisbane tersebut, membuat judul berita utama “Bloody Hands” yang artinya “tangan yang menumpahkah/berlumuran darah”. Judul tersebut, membahas kebijakan Jokowi mengenai perintah eksekusi mati terhadap 8 narapidana yang dua di antaranya merupakan warga negeri Kanguru tersebut.

Sementara foto ilustrasi yang ditampilkan untuk judul berita utama itu adalah, Presiden RI Joko Widodo tengah tersenyum semringah sembari menunjukkan telapak tangan kanannya berlumuran darah.

Foto ilustrasi itu beratar belakang bendera nasional Indonesia, yang dari ujung kiri sisi merahnya mengalir cairan merah seperti darah. Surat kabar ini mengusung sub-judul yang tertulis “Edisi Spesial Pukul 4 Pagi: Suara tembakan regu penembak ramaikan pulau eksekusi”.

Isinya kurang lebih menggambarkan kegiatan duo terpidana Bali Nine Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Kegiatan yang diliput termasuk menyantap menu KFC sebelum eksekusi, dan saling memberi semangat pada tujuh terpidana lainnya.

Selama dua hari sebelum eksekusi, kedelapan terpidana (kecuali Zainal Abidin yang muslim) melaksanakan beberapa sesi doa bersama, dipimpin oleh Chan yang sudah menjadi pastur.

Detik-detik sebelum eksekusi, keluarga Chan dan Sukumaran dipantau masih meminta belas kasih kepada Presiden Joko Widodo untuk memberikan pengampunannya.
Adik Andrew Chan, Michael, mengatakan tidak ada kata terlambat untuk pengampunan dari presiden, sebab eksekusi ini akan menghadirkan duka di tengah keluarga seumur hidupnya.

“Ini tidak akan menyelesaikan permasalahan narkoba. Besok, minggu depan, bulan depan, ini tidak akan menghentikan apapun,” ucap Chinthu, saudara lelaki Myuran. “Tolong jangan biarkan ibu dan saudara-saudara saya harus menguburnya,”

Pihak keluarga menggambarkan perpisahan tersebut sebagai “penyiksaan” dan meminta Presiden Joko Widodo untuk berpikir ulang mengenai pelaksanaan eksekusi itu.
Lukisan Berdarah

Sesuai dengan permintaan terakhirnya sebelum dieksekusi, terpidana mati Myuran Sukumaran ingin terus melukis hingga saat-saat terakhir. Salah satu lukisan terakhirnya menampilkan merah putih dengan asosiasi darah yang menetes.

Dalam hari-hari terakhirnya, menjelang hukuman mati, Sukumaran mengekspresikan perasaannya melalui sejumlah lukisan. Salah satunya adalah lukisan wajahnya sendiri setelah diberikan pemberitahuan bahwa hidupnya akan tersisa 72 jam lagi.

Ia pun sempat melukis sebuah jantung, yang kemudian dibubuhi tanda tangan dari rekan-rekan napi lainnya, dengan judul “Satu hati, satu rasa dalam cinta”. Lukisan lainnya adalah darah yang menetes di atas metrah-putih, yang bisa diasosiasikan dengan bendera Indonesia. Sukumaran dalam waktu 72 jam terakhirnya meminta diberikan waktu selama mungkin untuk melukis.

Dalam lukisan wajahnya sendiri, ia sempat menuliskan “Dua hari terakhir, Myuran Sukumaran, Penjara Besi, Nusakambangan”. Wajah Presiden Joko WIdodo dengan tulisan “Manusia Bisa Berubah” juga menjadi salah satu hasil karya terakhirnya.

Sukumaran mulai melukis di tahun 2012 saat bertemu salah satu temannya, yang kemudian menjadi mentor seninya, Ben Quilty. Ben adalah seniman yang pernah memenangkan penghargaan Piala Archibald. Quilty mengaku kalau bakat Sukumaran sudah terlihat jelas. “Ia tahu bagaimana melukis, tanpa dilatih, tanpa membaca buku seni,” katanya seperti dilansir Kompas.com.

Sukumaran pernah melukis 28 wajah sendirinya dalam waktu dua minggu. Ia mendapat gelar seni dari Curtin University pada bulan Febuari tahun ini. Selama berada di penjara Kerobokan, ia telah memberikan pelatihan melukis dan seni bagi rekan-rekan sesama napi.

Beberapa hasil karya Sukumaran pernah dilelang di Melbourne, Australia dan dana yang terkumpul disumbangkan bagi program rehabilitasi lewat seni di penjara Kerobokan, Bali.
Tarik Dubes

Perdana Menteri Australia Tony Abbott, Rabu (29/4/2015), memutuskan untuk memanggil duta besar negeri itu di Jakarta setelah dua warga Australia, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, menjalani eksekusi hukuman mati di Nusakambangan.

Ini adalah kali pertama Australia memanggil pulang duta besarnya di sebuah negara terkait warganya yang dieksekusi mati karena kasus narkotika.

Salah satunya saat Nguyen Tuong Van (25) menjalani eksekusi hukuman mati di Singapura pada Desember 2005. Nguyen tertangkap di Bandara Changi, Singapura, pada 2002 karena membawa 392,2 gram heroin dari Kamboja.

Jumlah heroin yang dibawa Nguyen 26 kali lebih banyak dibanding jumlah minimal dalam undang-undang Singapura. Sesuai undang-undang anti-narkoba Singapura, siapa pun yang memiliki heroin minimal 15 gram diancam hukuman mati.

Setelah diadili, Nguyen dijatuhi hukuman mati pada 20 Maret 2004. Upaya banding yang dilakukan Nguyen ditolak Pengadilan Banding Singapura pada 20 Oktober 2004. Nguyen menjalani eksekusi hukuman mati dengan cara digantung pada 2 Desember 2005.

Tepat pada hari eksekusi Nguyen, di KTT APEC di Korea Selatan, PM Australia saat itu, John Howard, mengajukan permohonan terakhir untuk menyelamatkan nyawa Nguyen kepada PM Singapura Lee Hsien Loong, tetapi eksekusi tetap dilakukan.

Setelah eksekusi dilakukan, PM Howard mengatakan kecewa terhadap PM Singapura Lee Hsien Loong yang tidah memberikan informasi kepada dirinya terkait tanggal eksekusi Nguyen saat keduanya bertemu.

Menanggapi kekecewaan itu, Menlu Singapura George Yeo menyampaikan permintaan maaf pemerintah negeri itu kepada Menlu Australia Alexander Downer. Namun, Australia tak pernah mengancam atau menarik dubesnya dari Singapura. (sumber: kaltim.tribunnews.com)

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.