Siapa Viktor Laiskodat? (1)

  • Whatsapp
Viktor Laiskodat

Viktor Bungtilu Laiskodat dan Josef A. Nae Soi terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur Nusa Tenggara Timur periode 2018-2023 lewat Pilkada Serentak 2018. Pasangan ini unggul dalam perolehan suara dari tiga pasangan calon gubernur lainnya, yakni Esthon L Foenay-Christian Rotok, Marianus Sae-Emilia Nomleni, dan Benny K Harman-Benny Litelnoni.

Untuk itu, mulai hari ini, www.lintasntt.com menurunkan tulisan bersambung tentang sosok Viktor dan Josef yang ditulis oleh: Matheos Viktor Messakh (mantan jurnalis The Jakarta Post). Pertama, profil tentang  Viktor sebanyak empat tulisan, dan dilanjutkan profil Josef sebanyak tiga tulisan. Selamat Membaca.

BANYAK orang menjejal-jejal gelar untuk menyatakan kebesaran, Viktor Laiskodat lebih percaya pada sekolah kehidupan.

“Bagi saya, sekolah yang paling hebat itu sekolah jalanan. Di jalanan kita bisa firm (teguh), komit, dan menjaga nama. Itu antara hidup dan mati. Kadang datang musuh mau bunuh saat itu juga. Kita hadapi semua itu,” kenang Viktor akan kehidupan jalanannya.

Viktor memang menapaki sukses melalui jalan yang tak dilalui banyak orang. Dari seorang petarung jalanan, menjadi buruh, petugas satpam, penagih utang dan segala pekerjaan serabutan, lalu perlahan menanjak menjadi pengusaha dan politisi.

Hidup Viktor memang bagai legenda bagi banyak orang. Namun sama hal sebuah legenda, orang hanya tahu manis di ujungnya. Tak banyak yang tahu bagaimana perjuangan menuju puncak kesuksesan seperti saat ini. Pujian dan fitnahpun mengiring sepanjang jalan namun ia tetap pada jalannya: jalan keteguhan hati dan keberanian.

Dilahirkan dari sebuah keluarga petani miskin di Oenesu, sebuah kampung di Kabupaten Kupang, Viktor memang terlahir menjadi pemenang. Dini hari, 17 Februari 1965 Viktor Bungtilu Laiskodat hadir ke dunia sebagai putra bungsu dari enam bersaudara pasangan Lasarus Laiskodat dan Orpa Kase. Ia dibesarkan dalam suasana serba kekurangan. “Mama biasa goreng kasi kami biji kapuk untuk kami makan”, kenang Viktor akan masa kecilnya.

Menyiasati kerasnya hidup, saat Viktor duduk di bangku kelas 1 SD, sang ayah memboyong keluarganya pindah ke Pulau Semau. Di pulau inilah Viktor menamatkan pendidikan SD Negeri Otan dengan brilian.

“Saya lulus ujian nomor dua, nomor satu anaknya kepala sekolah,” kata Viktor. Ia bahkan masih mengingat temannya yang juara itu yaitu Melki Mola.

Agar bisa melanjutkan sekolah, Viktor kemudian dititipkan pada kakak perempuannya Ance Ataupah Amtiran di kota Kupang. Tak ada sekolah menengah di Semau saat itu. Ance menikah dengan Hendrik Ataupah, seorang dosen Universitas Nusa Cendana. Merekalah yang membiayai pendidikan Viktor.

Lain Semau, lain Kupang. Suasana di kota kecil ini turut merubah kehidupan sang anak kampung ini. Sebagai murid SMPN 1 Kupang, ia sering di-bully atau diadu berkelahi. Kupang bukan Pulau Semau sehingga ia bisa berlari pulang mengadu kepada orangtuanya.

“Saya ingat pertama kali saya berkelahi di Oeba. Di Semau tidak pernah berkelahi. Di Kupang ini tiap hari anak-anak berkelahi. Tiap hari saya dipukuli dan diadu berkelahi, saya harus melawan,” kenangnya.

“Bagi saya ini alami. Orang yang ditekan terus-menerus hanya ada dua kemungkinan: menjadi pecundang atau melawan dan menang.”

Setamat SMP ia pindah ke rumah seorang kakak perempuannya yang lain di Oepura. Kakak perempuannya itu menikah dengan Nomensen Muni, Lurah Oepura saat itu. Merekalah yang membiayai pendidikan SMA-nya. Namun Kupang bukanlah kota yang besar.

Viktor telah mendapatkan namanya sebagai petarung jalanan di kota karang ini. Kakak-kakaknya kehabisan akal mengatasi kegemarannya itu. “Lama-lama saya terbiasa. Saya harus survive. Tidak ada yang membela saya di sekolah atau di jalan,” jelas Viktor.

Pendidikan SMApun dijalani di dua sekolah berbeda. Setelah gagal ujian di SMA Sinar Pancasila tahun 1984, ia pindah ke SMA PGRI. Viktor mengakui ketidakseriusannya menjalani pendidikan. “Seumur hidup, saya ini sekolah serius hanya dua kali: SD dan S2,” kata Viktor yang baru menyelesaikan pendidikan Master pada Fakultas Pasca Sarjana UKSW Salatiga pada Januari lalu.

Selepas SMA, Viktor mengganggur. Tak ada biaya kuliah. Walau sempat bekerja sebentar sebagai tenaga honorer di Kantor BKKBN NTT, ia memilih keluar. Pertarungan jalanan tetap menjadi kebiasaannya.

Enam tahun menjalani hari-hari di jalanan kota karang, Viktor ingin mengadu nasib ke Jakarta. Itu pilihan populer anak-anak Kupang saat itu. Ance mencari jalan agar adiknya bisa ke Jakarta. “Kalau lu model begini lu pi Jakarta bisa hidup,” kata Viktor tentang ungkapan kakaknya. Hampir tiap pagi sang kakak ke pelabuhan mencari tahu jika ada kapal yang bertolak ke Jawa.

Niat itu akhirnya terwujud pada 12 Maret 1991. Berbekal Rp 60.000 pinjaman dari seorang kerabat, Viktor meninggalkan Kupang menumpang sebuah kapal hewan, kapal Pulau Sebuku. Enam hari setelah tidur di atas jerami makanan sapi-sapi, kapal kayu ini berlabuh di Kali Mas, Surabaya.

Keesokan harinya, ia langsung melanjutkan perjalanan dengan bus Damri ke Jakarta. Kemampuan survive sang Viktor tampak mengiring sepanjang jalan. Ia tak perlu membayar ongkos bus. “Saya bilang saya preman Cililitan, jadi gak berani ditagih ongkos. Tapi saya bantu-bantu nagih, jadi dapat makan dalam perjalanan ke Jakarta,” kenang Viktor.

“Turun di Cililitan jam 11 pagi, 19 Maret 1991,” ingatannya jelas tentang saat pertama menjejakkan kaki di Ibukota. Berbekal alamat di sepotong kertas, Viktor sukses mencari alamat seorang keponakannya, Mese Ataupah, yang sedang menempuh pendidikan di Jakarta. Ia memanfaatkan pertolongan seorang anggota polisi yang ia temui di jalan.

“Saya bawa dua botol madu Amfoang. Saya bilang kalau pak ketemu ini alamat, pak dapat satu botol saya dapat satu,” kata Viktor.

Di Jakarta, pertarungan hidup sesungguhnya dimulainya. Pekerjaan pertama di ibukota adalah menjadi satpam di sebuah pabrik rotan. Hanya dua bulan di pabrik itu, ia pindah jadi satpam di grup swalayan Hero. Di Heropun ia tak betah.

Viktor terus bekerja serabutan untuk menghidupi dirinya. Setelah berganti sejumlah pekerjaan, akhirnya Viktor mulai mengenal dunia penagihan hutang (debt collector). Keberanian dirinya cukup menjadi modal sebagai penagih. Dengan uang yang didapat dari penagih utang ini, Viktor melanjutkan pendidikan di bidang hukum, impian masa kecilnya. Ia menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia.

Namun, pekerjaan ini jualah yang membawanya ke balik jeruji besi. Sebuah order penagihan dari seorang yang dihormatinya, membuatnya didakwa melakukan penganiayaan dan penculikan terhadap seorang pengusaha yang menunggak utang ke Bank Panin.

Demi orang tersebut, Viktor ‘pasang badan’. “Ketika itu kami sekitar 20 orang melakukan pemukulan beramai-ramai, namun saya harus memikul tanggungjawab,” ungkap Viktor.

Solidaritas adalah ciri yang melekat pada Viktor. “Dia keras tapi sangat solider. Ia bahkan tak segan mengorbankan diri untuk teman, dia sangat pemaaf dan cepat melupakan. Orang yang pernah menjadi musuhnya bisa berbalik jadi teman baik, sulit mencari orang seperti dia,” kata Thalib Makarim, salah seorang sahabat Viktor.

“Dia keras untuk perubahan, dia keras terhadap anak-anak yang tidak punya semangat juang di Jakarta, misalnya. Untuk dirinya sendiri dia keras, dia tak akan makan sebelum tuntas kerja. Kita butuh orang seperti ini dan mungkin 50 tahun ke depan belum tentu kita ketemu orang dengan karakter, semangat juang dan kualitas seperti Viktor,” kata Thalib yang mengenal Viktor sejak awal tahun 1990-an. (Matheos Viktor Messakh. Bersambung…)

 

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.