Saat Negara Tak Hadir untuk Buruh Migran

  • Whatsapp
ANIS HIDAYAH, Direktur eksekutif Migrant Care dan Mohamad Hasan, Rektor Universitas Jember saat berbicara kepada wartawan/Foto: Alex

Jember–Hari masih pagi dan sejuk di Kota Jember Senin pekan lalu. Namun di Gedung Soetarjo, Kampus Universitas Jember, Jawa Timur sudah ramai.

Ribuan buruh dan mantan buruh migran dari berbagai daerah di Indonesia tumpah ruah di gedung tersebut. Mereka berasal dari NTT, NTB, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Ada juga perwakilan buruh migran dari Malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan, Korea Selatan, Saudi Arabia dan Belanda.

Selama tiga hari, para buruh migran ini menggelar Jambore Nasional Buruh Migran. Mereka ingin memastikan negara hadir untuk melindungi hak-hak mereka.

Kampus yang dijuluki “kampus Kebangsaan Itu” sangat representatif untuk perhelatan berskala nasional. Pepohonan hijau berusia puluhan bahkan ratusan tahun ditambah halaman yang sangat luas di halaman gedung Soetarjo, Universitas Jember, memberi hawa sejuk di saat Indonesia masih dilanda kemarau panjang.

Kesejukan memang sangat dibutuhkan bagi proses berpikir, merumuskan langkah-langkah konkret guna menghadirkan Negara dalam upaya perlindungan buruh migran di Indonesia. Jambore Nasional dengan Tema “Negara Hadir, Buruh Migran Terlindungi” ini digagas Migrant Care, Mampu, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) serta Universitas Jember.

Para buruh migran ini tidak sendiri. Mereka ditemani komunitas buruh migran dari daerah lain, kepala Desa, Organisasi masyarakat sipil, organisasi buruh migran, mahasiswa, akademisi, media, pemerintah (pusat dan daerah), serta organisasi keagamaan. Sebab menggumuli gagasan membebaskan pahlawan devisa itu dari kungkungan kaum kapitalis ini membutuhkan kerja berjejaring.

Pentas budaya daerah meramaikan acara pembukaan jambore. Komunitas Buruh Migran dari Lembata membawakan tarian Sole Oha dengan syair dan pantun yang menggambarkan kerasnya hidup dan merantau adalah solusi untuk keluar dari himpitan ekonomi, sementara komunitas buruh migran dari Jember membawakan tarian Enggrang yang menggambarkan keceriaan serta optimisme anak-anak desa yang ingin menggenggam dunia.

Direktur eksekutif Migrant Care Anis Hidayah pada acara pembukaan jambore tersebut menyebutkan, pelanggaran HAM, eksploitasi, kekerasan serta perbudakan terhadap buruh migran sampai hari ini masih menjadi realitas, bahkan pada April 2015 dua PRT Migran Indonesia, Siti Zaenab dan Karni dieksekusi mati di Arab Saudi secara berturut-turut.

“Data Global Slavery index yang diluncurkan pada bulan November 2014 menunjukan jumlah warga negara Indonesia yang menjadi korban perbudakan modern tercatat meningkat lebih dari 300 persen. Pada 2013 korban perbudakan berjumlah 210,970, dan meningkat menjadi 714.300 orang pada 2014

Pantauan Migrant Care perlakuan-perlakuan keji majikan, praktek eksploitasi para pengambil keuntungan, peraturan ketenagakerjaan yang tidak memihak hingga sistem keimigrasian yang mengkriminalisasi buruh migran masih terus berlangsung,” ujar Hidayah.

Menurut Hidayah, jambore nasional ini bertujuan memperkuat konsolidasi perlindungan buruh migran Indonesia dari desa hingga nasional yang relevan dengan agenda global dan nasional, mendorong berkembangnya inisiatif-inisiatif baru dalam perlindungan buruh migran Indonesia untuk mendekatkan akses keadilan bagi buruh migran dan memudahkan masyarakat untuk mendapatkan akses bekerja ke luar negeri secara praktis dan murah.

Selain itu mendorong menguatnya gerakan perlindungan buruh migran Indonesia melalui pengorganisasian komunitas dan buruh migran, membangun strategi nasional antar multy stakeholders untuk mewujudkan tersedianya instrumen dan payung hukum perlindungan bagi buruh.

Anis Hidayah berharap, perguruan tinggi juga ikut terlibat melindungi buruh migran dengan membuka pusat studi tentang migrasi agar perguruan tinggi dapat menyumbang gagasan bagi para pengambil kebijakan mulai dari pusat sampai ke daerah.

Rektor Universitas Jember, Mohamad Hasan dalam sambutannya menyebutkan pihaknya punya komitmen yang sama memperjuangkan kebijakan terkait buruh migran.

“Seluruh kebijakan dan perangkat hukum yang dibuat pemerintah seyogianya harus mensejahterakan buruh migran bukan para mafia yang justru ambil untung. Kami bertekad mendukung kegiatan Jambore Nasional Buruh Migran hingga bersama-sama memperjuangkan produk dari Jambore ini,” ujar Rektor Unej itu.

Menggugat UU 39 Tahun 2004

Kabupaten Lembata, NTT menjadi contoh kehadiran negara dalam upaya melindungi buruh migran. Panitia Nasional Jambore Buruh migran mengapresiasi kepedulian pemerintah dan DPRD setempat.

Wakil Bupati Mado Watun dan Ketua Badan Legislasi DPRD Lembata menjadi narasumber dalam kegiatan tersebut. Mereka membawakan materi ‘Peran Pemerintah Daerah dalam Perlindungan Buruh Migran’.

“Perda perlindungan buruh migran di Lembata sudah berproses di DPRD setempat kini siap dilakukan konsultasi publik. Dalam perda tersebut digagas pembangunan rumah singgah di Nunukan, Kalimantan Timur, pintu masuk ke Negara Malaysia guna memudahkan buruh migran mengurus dokumen pemberangkatan secara mandiri. Digagas pula perlindungan buruh saat menghadapi masalah hukum di negara tujuan,” ujar Bala Wukak.

Menurut Bala Wukak, UU 39 tahun 2004 tentang perlindungan tenaga kerja indonesia justru melegitimasi praktek perbudakan.

“UU nomor 39 Tahun 2004 tentang perlindungan buruh migran membuka ruang menimbulkan masalah baru tanpa solusi. Di Lembata, kami berupaya mengakomodir pola migrasi mandiri yang selama ini terbukti lebih aman dan efektif ke dalam Perda perlindungan buruh migran. Negara diberikan porsi mengurus dokumen dan menyerap sebanyak mungkin informasi tentang peluang kerja di luar negeri pada saat praberangkat, saat berada di luar negeri dan saat kembali,” ujar Bala Wukak di hadapan 1.500 peserta Jambore

Sementara itu Wakil Bupati Lembata, Viktor Mado Watun saat menyampaikan materinya mengatakan, pola migrasi mandiri yang selama ini dilakukan di Lembata terbukti aman dan efektif. Pola migrasi yang dilakukan melalui pendekatan kekeluargaan sehingga terhindar dari praktek percaloan ataupun perbudakan modern.

“Biasanya kalau sudah diurus PJTKI pasti muncul masalah sehingga negara hanya mengurus informasi yang benar dan akurat tentang peluang kerja, besaran gaji dan keamanan saat berangkat dan pulang. Kami juga selalu menyarankan agar menyimpan uang untuk kebutuhan saat tidak menjadi TKI nanti,” ujar Mado Watun.

Gairah dan optimisme adalah kesan kuat yang ditunjukan para peserta jambore. Buruh Migran menaruh harapan terhadap perbaikan taraf hidup mereka. (Alex dari Jember).

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.