Parade ‘Kepalsuan’ di Tiga Kota

  • Whatsapp
Pentas Monolog 'Perempuan Biasa-biasa/Foto: Lintasntt.com/Hosea

Lewoleba–Sebuah kotak bekas kemasan air mineral diletakan di tengah panggung.

Di belakangnya terbentang kain hitam lebar hingga menutup seluruh sisi belakang panggung yang dibangun di Aula Damian, Kota Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata, Jumat, 22 April 2016 malam.

Dua buah lampu sorot di sisi kiri dan kanan panggung yang legang, diletakan menelungkup. Dua orang light man siapapun menanti saat tepat untuk menyalakan sorot.

Tata panggung masih legang, hitam, tanpa lampu. Ttubuh perempuan mengenakan kabaya merah dan kain kotak-kotak putih bercampur biru, duduk membelakangi penonton di atas kotak bekas kemasan botol minuman itu.

“Saya bukan dosen, bukan artis film, bukan super model, bukan pejabat tinggi, saya hanya perempuan biasa-biasa,” ujar Linda memecah kesunyian. Perempuan yang duduk di atas kotak kemasan minuman itu.

Begitu wajahnya kena sorot cahaya merah muda, ia terlihat cantik sekali. Matanya menatap hampa.

Linda adalah mahasiswi semester akhir di STIBA Kupang. Ia tengah mementaskan monolog berjudul
“Perempuan Biasa-Biasa”, benar-benar tampil memukau. Ia berguling-guling, berteriak histeris, menerawang, marah, bahkan menangis. Dari mulutnya mengalir seberkas kalimat sambung menyambung. Suasana hening sangat menopang artikulasi suara hingga ke telinga penonton.

“Kenapa tidak kau ikatkan saja kain di pinggang dan kau saja yang menjadi perempuan? Yang membedakan kita hanya alat kelamin kan…apa perlu kutunjukan anuku yang membedakan kita? mengapa kau masih mengeksploitasi,” ujar Linda, sang artis dalam posisi duduk di atas keler. Sorot lampu merah menambah syahdu suasana.

Sorak penonton menutup teater monolog itu. Linda sang aktrispun berlalu meninggalkan selaksa tanya di benak penonton.

Usai melipir pergi, Lani Koro, dari komunitas koloteme (burung elang-bahasa Dawan) art movement, lagi-lagi tampil memukau. Kandidat Doktor Universitas Udayana Denpasar ini membawakan “Sajak Palsu” karyanya sendiri.

Mahasiswa S3 Linguistik Universitas Udayana Bali itu mengaku, nuansa satire sangat kuat dalam sajak Palsunya itu. Menurutnya, sajak Palsu mengajak penonton untuk lebih jujur melihat kenyataan.

“Banyak fakta yang ada di depan mata, orang sangat susah menerima kenyataan, kadang banyak orang sulit melihat sesuatu yang nyata. Sajak Palsu sebetulnya ingin mengajak orang untuk bersikap jujur kepada diri
sendiri, karena jika orang menampilkan kepalsuan, selalu ada rentetan kepalsuan-kepalsuan lain yang melilit hidup,” ujar Lani Koro. Dan panggung kelam pun senyap lagi.

Teater monologpun berlanjut. Suara ketukan tangan beradu dengan kayu. Seonggok tubuh terlilit temali tertidur diatas keler. Suara ketukan itu lambat laun mengeras dengan tempo semakin cepat, lalu orang itupun
terbangun. Sorot cahayapun langsung mengarah ke wajah yang menampilkan kemarahan.

Abdi Keraf, sang actor monolog itupun terbangun dari kursi tempatnya tertidur. “Siapa…siapa yang sudah membangunkan aku. Tidak taukah kau…aku sangat menikmati tidurku,” ujar sang aktor mengawali monolog berjudul “Tubuh Yang Palsu”. Mulutnya terus merapalkan kalimat-kalimat yang mengalir begitu saja. Penghayatan dan tata gerak tubuh actor yang terlilit talipun sangat mendukung pesan yang sedang disampaikannya.

“Kenapa kau masih disitu? Hentikan semua kepalsuan pada tubuhmu,” hardik suara itu di akhir pertunjukan monolog.

Rangsang Karya Seni Mendobrak Realitas

Pertunjukan monolog oleh Abdi Keraf, dan kawan-kawan pun mengundang apresiasi. Pater Stef Tupeng Witin, pencinta sastra usai pertunjukan mengatakan, teater monolog ini menghentak jagad teater di Flobamora
sekaligus mengingatkan orang NTT kususnya Lembata untuk keluar kepalsuan.

“Pentas monolog ini mendialogkan kebisuan. Pentas ini sangat tepat disaat pulau ini sedang disandera oleh banyak kepalsuan yang menyebabkan gejolak sosial,” ujar Pater Stef Witin kepada lintasnt.com

Lani Koro, dari komunitas Koloteme Art Movement Kupang menjelaskan pentas monolog ini dilaksanakan di tiga kota yakni Maumere, Larantuka dan Lewoleba.

“Kami ingin merangsang komunitas-komunitas seni di daerah yakni Maumere, Larantuka dan Lewoleba, agar aktif dan gigih dalam berseni dan berteater,” ujar Lani.  Warga menyambut antusias pentas monolog yang baru pertama dimainkan di Lembata itu. (Hosea).

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.

1 comment