Obyek Wisata Lingko Meler Ruteng mungkin Kurang Promosi

  • Whatsapp
Persawahan di Manggarai /Foto: Lintasntt.com/Hosea

Ruteng–Di sela-sela liputan ajang balap sepeda internasional Tour de Flores, wartawan lintasntt.com mampir di persawahan seluas 398 hektare di Desa Meler, Kecamatan Ruteng.

Hamparan sawah berbentuk lingkaran di daerah itu dikenal sebagai Lingko. Saat ini persawahan itu memasuki masa panen. Para petani berpacu dengan sergapan hujan yang turun hampir setiap hari di kota dingin ini.

Read More

Hari masih pagi, Minggu (22/5/2016), kami berpapasan dengan puluhan petani hilir-mudik membawa karung berisi padi, keluar dari persawahan.

Mereka meniti pematang sawah berbentuk sarang laba-laba itu sambil menebar senyum. Namun, bukan aktivitas petani yang menimbulkan decak kagum, melainkan sawah model sarang laba-laba di desa itu yang memesona.

Tidak diketahui asal mula lahirnya sawah model unik ini, namun petani setempat mengatakan lingko muncul sejak zaman Raja Manggarai pertama. Saat Pemerintah Kabupaten Manggarai pun menetapkan “Lingko Meler” sebagai salah satu objek wisata alam.

Selain menyebut Lingko, obyek wisata ini juga dikenal dengan nama “Lodok”. Namun pemerintah daerah setemapt menyebutnya ‘Lingko Meler”.

Panorama sawah Lingko Meler dapat disaksikan dari bukit yang mengitari lokasi persawahan yakni Bukit Golo Lalong, Desa Meler dan Golo Cara di Bukit Cara.

Dari ketinggian bukit itu, tampak jelas 19 lingko. Petani pemilik lingko tersebut tergabung dalam sebuah rumah adat atau gendang. Namun hanya 11 buah lingko yang berbentuk utuh, 9 buah lingko lainnya sudah mengalami perubahan bentuk

Dari pusat Lingko terdapat titik awal membagi lahan sawah disebut Lodok. Lodok juga menjadi pusat ritual adat, dan pusat pembicaraan adat mengenai lahan sawah dan mata pencaharian warga.

“Sejak 2010 kami mempertegas lokasi sawah laba-laba ini sebagai Lingko Meler dalam setiap dokumen pemerintah. Sawah berbentuk sarang laba-laba ini merupakan aset pemerintah daerah. Di bukit Golo Lalong ini, orang dapat dengan leluasa menikmati panorama sawah berbentuk sarang laba-laba dari pos pengamatan yang dibangun tahun 2010,” ujar Febri, staf dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Manggarai.

Menurut Febri kunjungan wisatawan mancanegara dan domestik ke Lingko Meler mulai meningkat. Namun begitu ia menyodorkan data kunjungan wisatawan, ternyata selama 2015 hanya 135 wisatawan yang datang ke sana. Sedangkan periode Januari-Mei 2016 jumlah pengunjung menjadi 201 orang. Minimnya kunjungan wisatawan ke Lingko Meler diduga kuat akibat promosi yang sangat minim.

Jari Tangan Untuk Membagi Lahan

Pembagian bidang sawah dimulai dari Lodok yakni sebuah tiang pancang dipatok tepat dibagian tengah Lingko.

Selanjutnya Pengurus Tanah Kampung (Tua Teno) mulai membagi bidang tanah. Caranyapun unik yakni meletakan ujung jari tangan. Ibu jari untuk tua Golo atau Tua Gendang, jari telunjuk untuk Tua Teno, jari tengah hingga jari kelingking kepada seluruh warga kampung. Pembagian tanah disesuaikan menurut status seseorang di kampung.

Semua orang memperoleh bagian, bahkan pendatang pun bisa mendapatkan bagian. “Untuk pendatang yang berkeinginan memiliki lahan sesuai pertimbangan Tua Teno, patokannya menggunakan jari kelingking,” ujar Febri.

Annus, Tokoh Adat Desa Meler mengatakan, setelah meletakan jari tangan di tiang Lodok, Tua Teno menarik tali di sisi kiri dan kanan jarinya, kecil di awal, namun melebar pada bagian ujung Lingko. Begitu seterusnya hingga lingkaran itu terbagi seluruhnya.

Pembagian itu akan membentuk sebuah segitiga sama kaki yang disebut Moso. Dari Moso inilah masing-masing warga membentuk petakan sawah, satu bersambung dengan lain hingga menyerupai sarang laba-laba.

Lingko dan Pancasila

Febri mengatakan model pembagian sawah berbentuk sarang laba-laba memiliki makna filosofis seperti terkandung dalam Pancasila.

Lodok menggambarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Lodok atau tiang pancang di tengah Lingko adalah pusat ritual kepada Tuhan (Mori) penguasa langit dan bumi. Warga setempat selalu menghadirkan Tuhan dalam setiap jengkal hidupnya.

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Tua Teno sebagai penguasa Pertanian, membagi secara adil dan bijaksana hamparan sawah kepada setiap warga kampung.

Persatuan, sebuah lingko adalah sebuah kekerabatan. Pemilik adalah warga keluarga yang hidup dalam satu kampung, kope oles todo kongkol, tidak berperang karena tanah.

Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, setiap pengambilan keputusan selalu dimulai dari rumah Gendang atau rumah adat berdasarkan keputusan bersama. Terakhir, keadilan sosial karena tidak ada yang lebih diuntungkan dalam pembagian lahan sawah. (hs/gma ).

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.