Mengenal Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi (1)

  • Whatsapp
Josef A Nae Soi/Copyright: lintasntt.com

Setelah menurunkan tulisan mengenai sosok Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat periode 2018-2023, mulai Minggu (9/9/2018), www.lintasntt.com, menurunkan tulisan mengenai sosok Wakil Gubernur (Wagub) NTT, Josef A Nae Soi. Profil Josef ditulis oleh mantan Jurnalis The Jakarta Post, Matheos Viktor Messakh, diturunkan bersambung. Selamat Membaca.

Menjadi Pemain Tengah yang Baik

Jika Provinsi NTT adalah sebuah lapangan sepak bola dan seluruh rakyat adalah pemainnya, maka Josef A. Nae Soi adalah playmaker yang mengatur tempo permainan, membagi si kulit bundar secara baik dan penuh perhitungan kepada para pemain depan agar provinsi yang identik dengan kemiskinan ini bisa mencetak gol dengan bangga.

“Saya ini dulu posisi midfielder. Jadi saya suka jelajah seluruh lapangan. Saya harus membagi bola itu merata ke seluruh pemain di depan. Kalau musuh defense saya over bola itu ke belakang. Mancing musuh yang di depan ke belakang, baru saya suruh mereka di depan over bola ke depan, baru kami menyerang,” kata pemain Terbaik El Tari Cup tahun 1972 ini.

“Maksudnya, kami akan mengajak semua para pihak (stakeholder) yang ada di NTT itu untuk membangun NTT. Ibarat NTT itu lapangan bola, sebelas anggota tim itu harus bekerjasama satu sama lain, dan sayalah yang mendistribusikan bola itu sehingga bisa gol. Hasilnya adalah kesejahteraan untuk masyarakat NTT,” jelas Josef yang akrab dipanggil Ose ini.

Lahir di Mataloko, Maumere sebagai anak ketiga dari pasangan petani Alosius Soi dan Lusia Deru Soi pada 22 September 1952, Josef telah menunjukkan jiwa kepemimpinan dan kemandiriannya sejak dini. Sang ayah meninggal tahun 1960 ketika Josef masih duduk di kelas tiga Sekolah Rakyat (sekarang SD) Katholik Mataloko.

“Saya tidak bisa lupa pesan ayah saya sebelum dia meninggal. ‘Anak, kamu boleh miskin harta tapi harus kaya martabat’”, kenang Ose.

Kepergian sang ayag membuat keluarga Yosef hanya berharap pada sang ibu. “Saya kalau bicara ibu, saya selalu air mata berlinang. Kami masih kecil-kecil ibu saya harus bergerak dengan adik kandung dia yang sudah kami anggap sebagai ibu kandung sendiri. Mereka harus bekerja keras untuk membantu kami sehingga kami bisa begini ini. Orangnya tegas. Dia adalah seorang bapa bagi kami sekaligus ibu bagi kami dan dia adalah pahlawan yang paling saya kagumi,” tutur Ose.

Sepeninggal sang ayah, Josef bersama dengan lima orang adiknya dan dua orang kakaknya perempuannya turut mencari uang untuk meringankan beban ibunya.

Setiap hari Josef bekerja mengambil makanan dari dapur susteran SSPS dan mengantarkannya bagi para siswa di Seminari Mataloko sambil terus bersekolah bersekolah di SR Todabelu 1 Mataloko yang berjarak sekitar seratus meter dari seminari Mataloko.

“Saya mengambil makanan di susteran dan bawa ke Seminari. Setelah itu saya langsung ikut sekolah pada pagi hari. Siang saya ambil makan lagi, sorenya saya belajar lagi. Lalu malam saya ambil bawa makanan untuk anak-anak seminari, lau saya belajar bersama-sama dengan mereka,” jelas Josef.

“Anak-anak seminari itu ada ratusan, jadi ada gerobak di dalamnya ada nasi dan lauk-pauk, ada periuk besar berupa tong, biasanya ada lima atau enam tong. Saya dorong gerobak ke seminari yang jauhnya sekitar 500 meter. Lalu saya bagi makanan untuk anak seminari. Saya cuci piring mereka lalu saya pergi sekolah. Dari pekerjaaan itu saya dibayar lalu uangnya saya berikan ke ibu untuk membiayai adik-adik saya,” katanya dengan logat Maumere yang khas.

Dengan penghasilan itu Josef bisa melanjutkan pendidikan ke sekolah setingkat SMP yaitu Ambach Schole (sekolah kejuruan) milik kongregasi SVD di Mataloko pada tahun 1963 namun ia terus menjalani pekerjaan mengantar makanan bagi para siswa seminari.

“Pagi jam 6 saya ambil makanan dari susteran untuk diantar ke anak-anak seminari. Saat anak-anak seminari makan saya pergi ke asrama saya di Ambacht school untuk mandi dan ganti pakaian. Terus kembali ke seminari saya cuci piring. Sehabis cuci piring, waktunya dari jam 8 sampai setengah duabelas saya ikut sekolah sama-sama dengan anak-anak seminari,” kata Josef yang sering dipanggil Ose ini.

Memang hidup Yosef penuh keunikan yang ia sendiri mengenangnya dengan senyum. Ia terdaftar sebagai siswa Ambach Schole tetapi belajar bersama-sama dengan anak-anak seminari dengan mata pelajaran yang sama dengan siswa-siswa seminari.

“Saya tidak di dalam kelas, tapi saya di luar kelas, ada jendela yang terbuka saya ada meja dan kursi khusus diberikan oleh Pater Boumans, SVD. Jadi saya di luar gedung tapi jendelanya terbuka sehingga gurunya ngajar saya dengar,” jelasnya sambil tertawa.

Josef mengikuti pendidikan di seminari sampai kelas 4 dan karena Seminari itu tidak melayani ujian resmi ala SMP ia harus melanjutkan ke SMP Negeri 1 Ende agar bisa mendapat ijazah. Di Ende ia lulus dengan nilai terbaik kedua.

Setelah menamatkan SMP di tahun 1967, Josef memilih masuk Sekolah Menengah Olahraga Atas (SMOA) di Ende. Namun ia terlambat sehingga harus mengikuti kelas percobaan. 1967-1969.

“Orang sudah sekolah tujuh bulan saya baru masuk kelas satu. Tapi begitu ujian kenaikan kelas dua, saya lulus. Jadi semua orang sekolah tiga tahun saya hanya dua tahun dua bulan,” kenang Ose yang menamatkan SMOA pada tahun 1969.

Saat belajar di SMOA, Ose juga menjadi pemain kesebelasan PERSE (Persekutuan Sepak Bola Ende) dan ia dipilih mengikuti seleksi atlet PON di Stadiun Tambak Sari Surabaya.

Selepas SMOA, Ose sempat bekerja sebagai guru olahraga di Seminari Kisol selama sebulan namun kemudian ia pindah ke Maumere menjadi guru olahraga dan biologi di SMA St. Gabriel dan SMEA Maumere. Kerja sebagai guru di kedua sekolah ini ia jalani sampai tahun 1972. Di Maumere jiwa kepemimpinan Ose terus diasah. Ia menjadi pemain sekaligus pelatih Persami Maumere dan pada tahun 1972 Persami menjadi juara El Tari Cup dan Ose menyabet gelar Pemain Terbaik.

Josef A Nae Soi (kiri) bersama Viktor Laiskodat (kanan). Copyright: Lintasntt.com
Josef A Nae Soi (kiri) bersama Viktor Laiskodat (kanan). Copyright: Lintasntt.com

Sebagai pemain terbaik, Ose mendapat bonus sebesar Rp. 38 ribu dari Bupati Sikka, Laurensius Say. Bermodalkan uang tersebut Ose bertolak ke Surabaya menumpang kapal Ratu Rosari dengan tekat melanjutkan pendidikan di Jakarta.

“Saya tidur di Soverdi selama tiga hari kemudian saya naik kereta barang langsung dari Surabaya ke Gambir. Sampai di Gambir tidak ada kenalan di situ saya langsung ke Soverdi di jalan Matraman Raya 125. Seminggu di situ baru saya cari om saya di Tanjung Priok,” tutur Ose.

Setelah menetap di Tanjung Priok ia telah diterima di Sekolah Tinggi Olahraga (STO). Namun nasib mengatakan lain. Ketika berkunjung ke Universitas Atmajaya ia bertemu mantan gurunya di Maumere, Pater Josef Glinka, SVD. Pastor dan guru besar antropologi ragawi asal Polandia itu mendorongnya untuk melepas studi olahraganya dan masuk jurusan manajemen Atmajaya. Ia mengikuti nasihat mantan gurunya itu dan diterima dalam jurusan manajemen di Atma Jaya di tahun 1974.

Kuliah di Atmajaya ia jalani sambil membiayai dirinya sendiri. Paginya ia bekerja sebagai guru Olahraga di STM Perkapalan Kosambi Cilincing Tanjung Priok, sore harinya ia mengikuti kuliah di Atmajaya. Dua tahun menjalani kerja sebagai guru, di tahun 1975 Ose diminta oleh Hary Tjan Silalahi untuk bekerja pada Center for Strategic and International Studies (CSIS).

“Dia bilang kau tidak usah guru di Tanjung Priok karena terlalu jauh, kerja saja di CSIS,” kata Ose mengingat permintaan Hary Tjan saat itu. “Kerja saya itu ringan. Saya baca koran kemudian membuat analisa buat pak Hary Tjan Silalahi dan pak Daoed Joesef.” Ose terus menjalani kuliah sambil bekerja di CSIS sampai tahun 1978.

Di kampus, anak Mataloko ini terus menanjak dan diakui kepemimpinannya. Setelah ia menjadi Sekretaris DPC PMKRI Jakarta (1973-75), kemudian ia terpilih menjadi ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (IPK) Universitas Atmajaya (1975-1977) dan selanjutnya Ketua Umum Dewan Mahasiswa Atma Jaya tahun 1977-1979.

Belum selesai studi sarjananya, Ose telah dikirim oleh pihak Atmajaya ke Universitas Leiden di Negeri Belanda untuk mengikuti short course Hukum Laut selama 9 bulan (1979-1980). (Matheos Viktor Messakh, Bersambung…)

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.