Ini Profil Matheos Viktor Messakh, Bakal Calon Wali Kota Termuda Kupang

  • Whatsapp
Matheos Viktor Messakh/Dok Pribadi

MATHEOS Viktor Messakh dilahirkan di Ba’a, Pulau Rote, pada tanggal 30 Juni 1973. Ia merupakan anak kedua dari pasangan Benjamin Messakh, BA (almarhum) dan Loudya Messakh-Lenggu. Sang ayah adalah seorang pegawai negeri sipil yang saat itu bertugas di Kantor Pembantu Bupati Wilayah Rote-Ndao dan ibu adalah seorang guru SD.

Tugas orangtua sebagai PNS membawa Matheos berpindah-pindah mengelilingi beberapa tempat, sehingga Matheos dan kakak sulungnya dititipkan pada kakek nenek dari garis ibu di Desa Mukekuku, Kecamatan Rote Timur. Nama Atok ia dapat dari kakaknya, Besly, karena sang kakak sering memanggilnya ‘Atu’.

Read More

“Atu lalu berubah menjadi Atok atau Ato, Bapa lebe suka panggel ‘Atok’, kadang panggel Ngatok,” katanya mengenang.

Pendidikan dasar ia selesaikan di beberapa tempat antara lain di SD GMIT Oeulu dan SD Inpres Lalao di Kecamatan Rote Timur; SD Negeri Batuplat di Kecamatan Kupang Barat, dan SD Inpres Merdeka di Kecamatan Kupang Timur. Karena mengikuti orangtua yang berpindah-pindah, pendidikan SMP juga diselesaikan di dua tempat, yaitu di SMP Negeri Oesao dan SMPN 2 Kupang. Pendidikan SMA dilalui di SMA Negeri 1 Kupang dan SMAN 2 Kupang.

Selepas SMA, Matheos melanjutkan kuliah di Fakultas Theologi-UKAW Kupang pada tahun 1991. Ketertarikannya terhadap politik bukanlah hal baru, hal ini ditunjukkan melalui skripsi yang ia tulis semasa kuliah di Fakultas Theologi UKAW. ‘Agama dan Sikap Politik: Suatu Analisis Tentang Sikap Politik Warga GMIT Perkotaan Menurut Pandangan Max Weber.’ Kerja skripsi ini merupakan bagian dari refleksinya saat itu sebagai mahasiswa.

Di tahun 1998, Atok adalah Ketua Umum Senat Mahasiswa Universitas Kristen Artha Wacana. Ialah salah satu pemimpin mahasiswa Kota Kupang dalam berbagai demonstrasi. “Semua mahasiswa di Kupang tahun 1998 pasti ingat momentum kita bergerak, dan bagaimana saat aksi kita ditunggui intel, ” kata Atok.

Saat hiruk-pikuk reformasi berlangsung, Atok telah bergabung dengan LSM Pusat Informasi dan Advokasi Rakyat (PIAR) NTT di bawah pimpinan Sarah Lerry Mboeik. Di PIAR ia menapaki karir dari notulis sampai dipercayai mengepalai Divisi Informasi dan Publikasi. Dalam kapasitas itulah Atok bersama beberapa orang rekannya mendirikan Tabloid Advokasi UDIK.

Tahun 2003, setelah kurang lebih lima tahun bekerja di dunia LSM, Atok mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi di Inggris di bidang jurnalisme di The Nottingham Trent University (2005).

Matheos Viktor Messakh/Dok Pribadi
Matheos Viktor Messakh/Dok Pribadi

Setelah itu Atok bergabung dengan Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor Leste atau lebih dikenal dengan nama CAVR. Setahun lamanya ia bekerja dalam tim CAVR untuk menyelesaikan Laporan Akhir Komisi menyangkut pelanggaran HAM di Timor-Leste sejak tahun 1975-1999 yang kemudian diserahkan ke PBB.

Setelah CAVR, Atok pindah ke Jakarta dan memulai karir sebagai reporter pada harian berbahasa Inggris The Jakarta Post.

“Di The Jakarta Post-lah saya belajar banyak hal tentang manajemen dan mendapatkan pengalaman-pengalaman yang tidak saya bayangkan sebelumnya dalam liputan-liputan saya, tertutama liputan-liputan ke luar negeri,” kata mantan editor olahraga ini.

Setelah empat tahun bergabung dengan The Jakarta Post, Atok telah menapaki jenjang editor, namun ia memilih untuk berhenti. ‘Saya memilih untuk pulang Kupang, dan kemudian pergi ke Leiden untuk belajar sejarah selama satu tahun,” kata Atok menjelaskan. “Saat saya diwawancarai profesor dari Leiden ia mengatakan ‘saya bagaikan Magelhaens yang menemukan sebuah benua baru.”

Thesis BA-nya tentang ‘Perang Penfui, 9 November 1749’ diselesaikan dengan memuaskan. Menyelesaikan studi tahun pertama dengan nilai terbaik kedua, membuatnya berhak untuk studi selanjutnya ke jenjang Doktoral. Namun Atok justru memutuskan untuk pulang. Satu sisi belajar memang menyenangkan, namun kerinduannya pada kedua anaknya membuat ia memilih untuk pulang ke Indonesia.

“Saya masih bisa bersekolah di mana saja, tapi saya tak mau kehilangan masa kecil anak-anak saya, terlalu mahal harganya,” kata ayah dari Tiadea Radakaran Isaiah Messakh (6) dan Rubamuri Zemira Messakh (4) ini. Selain bekerja sebagai penulis/peneliti, Atok adalah ayah yang baik, ia yang bertanggungjawab pada kedua anaknya saat Rika, istrinya, bekerja.

Selain itu, Atok bersama para penulis lainnya mendirikian Satutimor.com (http://satutimor.com/), sebuah portal berita yang hadir untuk menampung suara intelektual dari berbagai penjuru. Portal ini tak hanya memuat berita karya penulis asal NTT, tetapi juga diaspora Indonesia yang ada di berbagai pelosok negeri. Tinggal di Sumba yang tenang membuatnya memiliki banyak waktu berpikir. “Saya bisa melihat NTT dari sisi yang lain, dan jelas saya amat merindukan Sumba dan kawan-kawan saya di sana,” katanya.

Berpolitik Independen

Di Waingapu, Sumba Timur Atok hadir sebagai intelektual dalam masyarakat sipil. Ia bergaul dengan para tokoh komunitas seperti Henrich Dengi pengelola stasiun radio MaxFM. Atok adalah salah satu analis politik tetap di sana, dan ulasan rutinnya mendapat tempat di hati banyak pendengar radio karena ulasan-ulasan politiknya.

Pengalamannya untuk terlibat dalam dunia politik, bukan lah baru. Dalam Pilkada di Sumba Timur tahun 2014 ia adalah ketua tim pemenangan pasangan Henrich Dengi dan Stepanus Makabombu. Keduanya adalah calon indipenden di Sumba Timur yang gagal bersaing karena tak mampu memenuhi target pengumpulan KTP.

“Saat itu waktunya terlalu sempit, saat itu KMP dan KIH masih bertikai di DPR, dan undang-undang itu belum sempat direvisi, sehingga tidak cukup waktu untuk kumpulkan KTP, andaikan waktunya cukup kami pasti bisa kumpulkan KTP,” jelasnya.

Atok mengatakan, ayahnya, almarhum Benjamin Messakh, banyak memberinya inspirasi tentang bagaimana menjadi pelayan masyarakat yang tidak mementingkan diri dan mencari untung untuk diri sendiri. “Kami tidak pernah malu mempunyai ayah mantan pejabat yang miskin,” kata Atok.

“Jalan panjang untuk tampil di ruang publik beta maknai sebagai panggilan politik, untuk itu beta siap untuk bekerja,” kata Atok.

Jika membaca alur hidupnya kita bisa tahu Atok tidak pernah pensiun sebagai aktivis yang berumah di atas angin, ia jelas-jelas tak tergiur dengan status yang mapan. Karakternya mengingatkan kita tentang para jurnalis-penulis Indonesia di awal-awal tahun kemerdekaan yang terus bergerak dengan tulisan dan aksi, karena goresan pena adalah kelanjutan dari aksi tubuh. Satu-satunya kemapanan untuknya mungkin adalah janji untuk terus bergerak dan memenuhi panggilan publik, karena suara rakyat adalah suara Tuhan. Vox Populi Vox Dei. (BS)

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.

2 comments