Film Dokumenter ‘Memetik Sasandu di Nusa Lontar’ Diputar di Kupang

  • Whatsapp
Esau Nalle memetik sasandu di pantai wisata Nemberala di Rote Barat/Foto: Dok Eagle Award
Esau Nalle memetik sasandu di pantai wisata Nemberala di Rote Barat/Foto: Dok Eagle Award

Kupang–Lintasntt.com: Film dokumenter ‘Memetik Sasandu di Nusa Lontar’ garapan Wisnu Dwi Prasetyo dan Ryan Rinaldy, diputar di Aula El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kamis (22/10).

Dokumenter tersebut adalah satu dari lima film finalis Eagle Awards Documentary Competition 2015, yang hadir dengan tema ‘Merajut Indonesia.;

Ratusan orang mulai dari pelajar dan mahasiswa hadir pada pemutaran film tersebut. Film ini mengisahkan perjuangan Esau Nalle. 48, seniman alat musik tradisional Sasandu gong asal Desa Oeseli, Kecamatan Rote Barat, Kabupaten Rote Ndao, NTT.

Ia mengajarkan Sasandu kepada anak-anak muda di desanya untuk membendung mereka karena lebih tertarik dengan musik modern. Selain Sasandu gong, film ini juga mengangkat syair Rote yang sakral, agung, dan sarat makna.

“Harapannya film ini dapat menjadi wakil dari semua alat musik traditional di Indonesia yang suaranya mulai terpinggirkan karena arus modernitas,” kata Syahrir Akbar, Produser Eagle Award Metro TV.

Bagi sebagian orang di Rote, sasandu gong adalah alat musik tradisional yang ketinggalan zaman. Bahannya dari daun lontar dan bambu serta hanya punya lima nada pentatonis sehingga tak cocok untuk memainkan lagu masa kini.

Sasandu gong memang cocok digunakan untuk memainkan lagu Rote, tembang daerah yang syairnya sarat nasehat dan kearifan. Perlahan-lahan, generasi muda yang mestinya menjadi pewaris budaya Rote, mulai meninggalkan sasandu
gong untuk alat musik yang lebih modern.

Salah satu adegan film tersebut di sebuah pesta pernikahan. Ketika itu, Esau Nalle duduk memeluk sasandu gong, Matanya menatap kerumunan tamu pesta yang riuh berdansa pada musik yang bingar. Syair Rote yang dilantunkannya dengan petikan sasandu gong mengantar pengantin ke pelaminan, sudah terlupakan.

Merdu suara dan khidmat pesan dalam syairnya kalah silau dengan dentuman pengeras suara dan muda-mudi yang berjoget. Sedih hatinya menyaksikan sasandu gong dan syair Rote semakin tergantikan, tersisihkan oleh musik modern yang membahana.

Lelaki paruh baya itu adalah satu di antara sedikit seniman sasandu gong Rote yang masih bertahan. Dulu, ia dilarang sang ayah untuk memetik sasandu gong karena mitos mati muda, Justru Esau Nalle bertumbuh mencintai sasandu gong.

Bagi Dia, sasandu gong bukanlah sekadar alat musik, melainkan gambaran hidup, potret sejarah, dan penyampai pesan. Tak rela alat musik sarat cerita dan sejarah ini tergerus zaman, Esau Nalle mengajak anak-anak muda
untuk terus melestarikan sasandu gong. Belajar memainkannya, menikmati alunan suaranya dengan syair Rote yang selalu sarat makna, sakral, dan agung.

Di sanggar miliknya, Esau Nalle mewariskan kecintaannya pada sasandu gong. Detamanu, yang berarti induk ayam yang melindungi anak-anaknya dalam bahasa Rote, dipilihnya sebagai nama. Esau Nalle ingin usahanya laksana
induk, induk yang melindungi anak-anak muda Rote dengan kecintaan budaya, melindungi budaya Rote yang sepenuh hati dimaknainya dengan terus bermain sasandu gong. (sumber: mi/palce amalo)

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.