Cengkeraman Asing di Labuan Bajo

  • Whatsapp
Labuan Bajo/Foto: lintasntt.com

Banyak nelayan tidak mampu mengelola uang. Duit hasil penjualan tanah dan rumah habis untuk konsumsi.  

SAAT pesawat Merpati mendarat di Bandara Labuan Bajo, aroma air laut sudah tercium. Bahkan saat di atas langit, pemandangan indah hamparan pulau-pulau kecil di sekitar Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, luar biasa indah.

Read More

Kawasan itu menjadi salah satu tujuan wisata setelah Bali dan Lombok. Apalagi di sana ada Pulau Komodo yang cukup terkenal. Para wisatawan pun kerap mengambil gambar-gambar terbaik dari puncak Waringin, bukit dengan ketinggian 200 meter di Kota Labuan Bajo. Di ceruk laut terhampar ratusan kapal yang siap berlayar melintasi 50 pulau di kawasan tersebut.

Dari tahun ke tahun, Labuan Bajo menjadi daya tarik wisatawan. Pengunjungnya makin banyak. Bahkan aktris kaliber Oscar Gwyneth Paltrow pernah mengunjungi Pulau Komodo belum lama ini.

Labuan Bajo benar-benar magnet, apalagi sejak Pulau Komodo menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia, ditambah dengan pantainya yang memiliki hamparan pasir putih, serta ombak yang tidak terlalu besar dan enak untuk jadi arena menyelam.

Setiap tahun selalu ada perubahan di sekitar kota tersebut. Semakin banyak hotel dan restoran internasional dibangun untuk melayani turis-turis asing. Rata-rata pemilik hotel dan restoran adalah warga negara asing. Kini Labuan Bajo menjadi rebutan para investor.

Camat Komodo Abdullah Nur mengungkapkan bentangan pantai Labuan Bajo sepanjang 30 kilometer sudah menjadi milik investor, entah investor Indonesia atau asing. Di tanah Pantai Pede seluas 3 hektare milik Pemprov Nusa Tenggara Timur, tempat perhelatan puncak Sail Komodo pada 14 September lalu, segera dibangun hotel berbintang lima oleh investor pribumi.

“Strategi orang asing memiliki tanah di Labuan Bajo ialah menikah dulu dengan perempuan lokal, kemudian membeli tanah atas nama istrinya,” ujarnya.

Begitu menariknya Labuan Bajo, investor pun rela merogoh kocek sampai dalam demi mendapatkan tanah radius 1 kilometer dari garis pantai. Papan nama pemilik tanah pun kini mulai terpampang di mana-mana, berdekatan dengan pantai, sedangkan tanah yang belum terjual oleh pemiliknya dipasangi papan bertuliskan ‘land for sale’.

Abdullah mengakui penjualan tanah di Labuan Bajo sulit dibendung. Di satu sisi, mayoritas warga di sana yang berprofesi sebagai nelayan dan petani ladang sengaja menjual tanah untuk mendapatkan uang tunai.

Bila tanah terjual, warga memilih bergeser ke tempat lain di balik perbukitan membeli tanah baru dan membangun rumah. Uang yang digunakan berasal dari hasil penjualan tanah tersebut.

Saat ini bentang tanah di Kota Labuan Bajo sepanjang 30 kilometer sudah berpindah tangan ke investor. Termasuk para artis pun mulai berinvestasi di Labuan Bajo, mulai pesisir Pantai Rangko di Kecamatan Boleng hingga Warloka di Kecamatan Komodo.

Tidak ada patokan harga jual tanah di sana. Semua tergantung tawar-menawar antara penjual dan pembeli. Harga paling murah biasanya Rp400 ribu per meter persegi hingga Rp1 juta per meter persegi.

Siapa saja pemilik lahan strategis di Labuan Bajo? Ada Eden Beach milik warga Prancis, Sylvia Hotel dan Wae Cicu Beach dari Indonesia, kemudian ada enam hotel dikuasai warga Inggris yakni La Prima, New Badjo Beach, Puri Sari, Bintang Flores, Jayakarta, dan Komodo Eco Lodge.

Tidak ketinggalan ada tiga pulau yang disewakan ke orang asing seperti Pulau Bidadari dikelola Ernest Lewandowski sejak 2001 dengan nilai investasi US$382,2 juta. Kemudian Pulau Kanawa dikelola investor Italia bernama Stefano Plaza pada 2010. Di pulau tersebut dibangun hotel dan restoran dengan nilai investasi US$35 juta.

Begitu pula Pulau Sebayur dikelola warga Italia bernama Ed sejak 2009 dengan nilai investasi US$2,5 juta. Ada pula investor asal Belanda yang kini membuka jasa wisata tirta di Pulau Rinca dan Komodo. Selain itu, masih ada resor-resor megah yang kini sedang dalam tahap penyelesaian pembangunan, ditambah puluhan hotel melati, homestay, dan restoran yang tersebar di dalam kota hingga punggung Bukit Waringin.

Tenaga kerja lokal yang direkrut mendapat gaji sesuai upah minimum Rp1.050.000 per bulan. “Masih banyak investor yang sudah berniat menanamkan modal mereka di usaha pariwisata. Mereka baru sampai pada tahap membeli tanah,” kata Kepala Kantor Penanaman Modal Manggarai Barat Bernadus Ndandur. dah di tangan orang asing. Sama halnya pembangunan pariwisata di Bali. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Manggarai Barat Silvester Wanggel membenarkan terjadi aksi beli tanah luar biasa tinggi di Kota Labuan Bajo.

Pantai berpasir putih hingga kawasan yang eksotis pemandangannya sudah memiliki nilai dolar. Muhammad Ali, warga Labuan Bajo, pun tergiur iming-iming duit banyak. Nelayan yang memiliki tanah di pesisir pantai seluas 10×20 meter persegi beserta rumah telah dia jual seharga Rp700 juta.

Padahal dalam kesehariannya, kawasan itu menjadi tempat dia menambatkan perahu seusai melaut. Namun, uang Rp700 juta habis untuk membangun rumah baru. Ia pun kini menjadi tukang ojek karena kapalnya telah dijual lantaran tidak ada tempat lagi untuk bersandar.

Cerita yang sama juga dialami sejumlah nelayan di Labuan Bajo. Pada umumnya para nelayan tidak bisa mengelola keuangan dengan baik dan menjadi konsumtif saat menerima uang kontan dalam jumlah banyak. Para investor pun tidak mempersoalkan tingginya harga tanah. Semakin banyak nelayan menjual dengan harga tinggi, para investor siap membeli. Tampaknya Labuan Bajo sudah menjadi daya tarik luar biasa bagi para investor wisata.

Bahkan sekarang ini tidak hanya Merpati Nusantara Arlines yang melayani jalur penerbangan ke Labuan Bajo. Ada pula Wings Air, Trans Nusa, dan Sky Aviation. Selain itu, jalur laut dari Bali menuju Manggarai pun tersedia, termasuk pula  dari Kupang. Apalagi Labuan Bajo merupakan gerbang utama menuju Pulau Komodo dan pulau-pulau kecil lainnya yang mengelilinginya.

Penjualan tanah secara masif itu juga menuai persoalan bagi kelompok adat.Pemerintah setempat pernah membagibagikan tanah yang dikuasai kelompok adat kepada anggota kelompok yang belum memiliki tanah pada 1992.

Namun dalam pembagian tanah tersebut tidak disebutkan batas-batas yang jelas sehingga kepemilikan tanah menjadi tumpang tindih. Beberapa kasus sengketa tanah pernah diperkarakan di pengadilan, ada pula yang sudah masuk ke Mahkamah Agung.

Kasus-kasus tersebut mulai muncul sejak era 2000-an, bersamaan mulai melejitnya Pulau Komodo. “Ada pengusaha dari Jakarta membeli tanah seluas 12 hektare dari seorang warga. Ternyata tanah itu milik orang lain karena batas-batasnya tidak jelas,“ terang Silvester.

Ia menyarankan agar warga berhenti menjual tanah. Sebaliknya, warga menyewakan tanah kepada investor dalam kurun waktu tertentu dan bisa diperpanjang. Strategi itu bertujuan menyelamatkan penguasaan tanah dari orang asing. (Sumber: mi/palce)

Komentar ANDA?

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.

1 comment